Kalau Cangkul Saja Impor, Haruskah Kita Khawatir dengan Nilai Tukar Rupiah?

23 Maret 2020 23:31 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Dolar-Rupiah Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dolar-Rupiah Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menumpahkan kekesalannya saat mengetahui fakta, bahwa cangkul yang banyak beredar di Indonesia adalah produk impor. Hal itu dia ungkapkan saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pada 6 November 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
"Misalnya urusan pacul, cangkul, masak masih impor," kata Jokowi bernada tinggi di Gedung Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta.
Jokowi menyatakan, harusnya urusan pacul atau cangkul bisa diproduksi oleh unit Usaha Kecil Menengah (UKM). Pasar cangkul di Indonesia sendiri sangat besar yang harusnya bisa diproduksi di dalam negeri.
"Gimana kita masih senang impor padahal kita defisit neraca perdagangan, CAD (Current Account Deficit) kita masih defisit. kok kita masih hobi impor ya kebangetan banget. Uangnya pemerintah lagi, kebangetan banget," tandasnya.
Menyinggung soal impor cangkul dan defisit neraca perdagangan serta neraca transaksi berjalan, relevan dengan kondisi saat ini ketika nilai tukar rupiah menunjukkan tren pelemahan terhadap dolar AS. Pada Senin (23/3), sejumlah bank memperdagangkan dolar AS di posisi Rp 16.800.
ADVERTISEMENT
Nilai itu menjadikan rupiah mendekati posisi terendah pada Juni 1998 silam. Saat krisis moneter melanda, rupiah sempat berada di posisi Rp 16.950 per dolar AS.
Lantas kemana pergerakan rupiah akan mengarah? President Economist PermataBank, Josua Pardede, menilai arah pergerakan rupiah dalam lingkup pasar domestik akan dipengaruhi kebijakan pemerintah dalam penanganan virus corona.
“Tekanan pada pasar keuangan domestik dan rupiah diperkirakan akan mereda setelah Presiden mengumumkan langkah-langkah cepat dari aspek kesehatan dalam penanganan COVID-19,” kata Josua kepada kumparan, Senin (23/3).
Vice President Economist Permatabank Josua Pardede. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Sementara menurutnya, katalis positif dari eksternal cenderung terbatas mengingat penyebaran virus corona secara global. Pelemahan rupiah dipicu oleh pembalikan modal kepada aset keuangan yang lebih aman di tengah ketidakpastian yang sangat tinggi dari virus corona.
ADVERTISEMENT
Kondisi itu, lanjutnya, bisa mendorong pelaku pasar keuangan global melepas semua aset-asetnya yakni saham, obligasi, emas dan menjualnya dalam cash dalam bentuk dolar.
Apa Pengaruhnya buat Kita?
Lantas apa pengaruhnya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap kita? Jelas berpengaruh, karena sebagian barang konsumsi dan juga barang modal yang kita pakai, sebagian besarnya dari impor. Barang-barang impor itu tentunya harus dibayar dalam kurs dolar.
Sepanjang 2019 lalu misalnya, neraca perdagangan Indonesia defisit USD 3,2 miliar dolar. Kurs rupiah saat itu ada di kisaran Rp 14.000 per dolar AS. Artinya untuk menebus defisit sebesar USD 3,2 miliar, Indonesia harus menggelontorkan dana Rp 44,8 triliun.
Jika nilai tukar rupiah melemah, hingga seperti posisi saat ini di Rp 16.800, maka yang harus digelontorkan mencapai Rp 53,8 triliun atau Rp 8,9 triliun lebih banyak.
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Salah satu pengerek impor Indonesia adalah industri farmasi. Data Gabungan Pengusaha Farmasi atau GP Farmasi, sekitar 90 persen bahan baku produk farmasi masih impor. Dalam kondisi meluasnya serangan virus corona seperti saat ini, kebutuhan produk farmasi justru meningkat.
ADVERTISEMENT
Selain farmasi, masih banyak sektor industri lain yang ikut mengerek kenaikan impor Indonesia. Demikian juga dengan barang konsumsi atau yang langsung dipakai masyarakat banyak. Cangkul seperti yang disinggung Presiden Jokowi, hanya salah satu.
Yang lain dengan mudah kita jumpai di dapur, ruang keluarga, dan hampir semua ruangan rumah kita.
Tengoklah yang ada di dapur. Mulai dari bawang putih, gula pasir, garam, gas LPG, adalah beberapa yang bisa kita sebut sebagiannya dari impor.
Konpers bawang putih impor yang diduga ilegal Foto: Ela Nurlaela/kumparan
Lantas perlukah kita khawatir? Mungkin iya. Tapi tak perlu sampai panik. Kepanikan yang membuat kita memborong besar-besaran aneka bahan pokok dan bahan pangan kebutuhan rumah tangga, akan jadi senjata makan tuan buat masyarakat sendiri.
Seperti hukum dasar permintaan dan penawaran, pembelian besar-besaran akibat panic buying, justru akan membuat harga semakin mahal. Beruntunglah yang masih kemampuan untuk membelinya. Tapi bagaimana nasib mereka yang kemampuannya pas-pasan, apalagi berkekurangan.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran kalau pun ada, seharusnya mendorong kita untuk lebih bijak dalam konsumsi dan berhemat. Karena kita tak pernah tahu, kapan serangan virus corona ini akan mereda.