Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Kebijakan Cukai Rokok RI Dinilai Belum Efektif, Masih Ada Celah Hindari Pajak
3 Juni 2022 14:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Kebijakan cukai hasil tembakau atau cukai rokok yang efektif akan mendorong optimalisasi pengendalian konsumsi tembakau dan penerimaan negara. Namun, kebijakan cukai rokok di Indonesia dinilai masih berpotensi untuk penghindaran pajak, khususnya melalui struktur tarif.
ADVERTISEMENT
“Awalnya dengan kenaikan cukai itu, kita berharap ada tambahan penerimaan negara sekaligus pengendalian konsumsi. Namun ada juga ternyata konsekuensi lain, yakni praktik penghindaran pajak,” ujar Sekjen Transparency International Indonesia, Danang Widoyoko dalam Webinar Mendorong Optimalisasi Penerimaan Negara dari Cukai Hasil Tembakau, Jumat (3/6).
Dia melanjutkan, hal tersebut dapat terjadi karena struktur tarif cukai hasil tembakau dan batasan produksi, utamanya pada segmen rokok mesin, memiliki kelemahan dari sisi produsen maupun konsumen. “Ketika cukai naik, konsumen dapat bergeser ke produk yang lebih murah karena selalu ada alternatif. Cukai berkurang efektivitasnya karena harga rokok masih bisa dijangkau akibat struktur cukainya,” kata Danang.
Terkait dengan struktur tarif cukai, lanjutnya, Kemenkeu sudah pernah merumuskan kebijakan penyederhanaan pada 2017, namun beleid itu dibatalkan dan kebijakannya saat ini baru terlaksana sebagian. “Tahun lalu dalam perjalanannya, struktur yang baru lebih sederhana dari 10 menjadi 8 lapisan. Jauh dari target semula, tapi ada kemajuan karena lebih sederhana,” ujar Danang.
ADVERTISEMENT
Celah kebijakan cukai saat ini tidak hanya di jumlah lapisannya saja, tapi ketentuan masing-masing lapisan. Pada tahun 2017, batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan II dinaikkan dari 2 miliar batang ke 3 miliar batang. Menurutnya, batasan produksi pada SKM dan SPM, serta jarak tarif cukai yang signifikan di antara kedua golongan yang ada saat ini, telah memicu perusahaan besar untuk turun golongan.
“Jangan-jangan nanti golongan I kabur semua ke golongan II. Kalau praktik penghindaran pajak ini tidak diantisipasi sekarang, penerimaan jadi sangat tidak optimal karena pabrikan ramai-ramai pakai cukai golongan II yang jauh lebih murah,” katanya.
Jika perusahaan besar tidak membayar cukai sesuai golongannya, penerimaan negara yang diterima tidak akan maksimal. “Dengan diangkat ke 3 miliar batang, ini membuat sebagian besar perusahaan besar bisa pindah ke golongan II. Jadi tidak cukup hanya simplifikasi mengurangi jumlah layer saja. Ketentuan tiap layer juga perlu diawasi karena potensi praktik penghindaran pajak bisa berasal dari sini,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, optimalisasi penerimaan negara inilah yang menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya Tim Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK). Tim ini memasukkan isu optimalisasi penerimaan negara dari cukai sebagai Sub Aksi Pencegahan Korupsi dalam Stranas Tahun 2021-2022.
“Peningkatan penerimaan negara melalui pembenahan penerimaan negara bukan pajak dan cukai itu masuk dalam fokus aksi Stranas PK. Urgensinya adalah bahwa regulasinya belum komprehensif, mekanisme penghitungan dan pemungutan tidak berbasis potensi, dan sistem belum terintegrasi baik dari data, pelaporan, dan pembayaran, yang dampaknya pada kehilangan potensi penerimaan,” ujar Koordinator Harian Sekretariat Nasional Stranas PK-KPK Herda Helmijaya.
Dia menekankan pentingnya melakukan optimalisasi di semua lini penerimaan negara, termasuk PNBP. “Dari urgensi permasalahan tersebut, kami menyusun kerangka aksi optimalisasi PNBP dengan memaksimalkan potensi cukai hasil tembakau,” tambahnya.
ADVERTISEMENT