Keterpurukan Industri Karet: Produksi dan Ekspor Konsisten Turun Sejak 2017

19 Desember 2023 20:07 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Gapkindo Sumatera Selatan, Alex Kurniawan Edy. Selasa (19/12/2023). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Gapkindo Sumatera Selatan, Alex Kurniawan Edy. Selasa (19/12/2023). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) mengungkap tabir industri karet di Indonesia yang semakin terpuruk. Sejak tahun 2017 mencapai titik puncak produksi dan ekspor, angkanya konsisten menurun hingga tahun ini.
ADVERTISEMENT
Ketua Gapkindo Sumatera Selatan, Alex Kurniawan Edy, menjelaskan pada tahun 2017 produksi karet alam di Indonesia mencapai 3,6 juta ton dengan ekspor sebesar 3,2 juta ton. Nilai ekspor tersebut mencapai USD 5,58 miliar di tahun itu.
"Terus menurun, dan tahun 2023 ini diperkirakan produksi karet Indonesia itu hanya 2,2 juta ton dengan ekspor hanya 1,76 juta ton," ungkap Edy saat ditemui kumparan di kantor Gapkindo, Selasa (19/12).
Secara rinci, produksi karet alam di tahun 2018 sebesar 3,53 juta ton dengan ekspor 2,95 juta ton. Kemudian di 2019, produksinya 3,3 juta ton dengan ekspor 2,58 juta ton. Di tahun 2020 saat pandemi COVID-19 menerjang, produksi karet alam turun menjadi 3,04 juta ton dan ekspor 2,46 juta ton.
Ilustrasi pohon karet Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Lalu di tahun 2021, produksi karet alam mencapai 3,05 juta ton dengan ekspor 2,38 juta ton. Di tahun 2022, produksi kembali turun di 2,65 juta ton dan ekspor 2,08 juta ton. Tahun ini, proyeksi nilai ekspor karet alam hanya tembus USD 2,51 miliar.
ADVERTISEMENT
"Nilai ekspornya ada fluktuasi sedikit karena memang ini ada disesuaikan dengan kondisi harganya, tapi dari sisi volume itu konsisten sekali penurunannya dari 2017 sampai dengan 2023," tutur Edy.
Industri karet alam di Indonesia, kata Edy, memang menemui sederet masalah. Komoditas karet sejatinya bukan anak emas pemerintah. Industri ini pun terancam semakin meredup karena ditinggalkan para petani atau penyadapnya.
Tantangan utama industri karet adalah wabah gugur daun Pestalotiopsis. Wabah ini menyebabkan gugur daun karet bisa mencapai 4-5 kali dalam setahun, di mana normalnya hanya 1 kali. Hal ini menyebabkan karet kehilangan energi untuk membentuk metabolit.
Edy mengungkapkan, wabah ini menyerang lebih dari 500 ribu hektare lahan karet di Indonesia, dari total dari 3,8 juta hektare. Akibatnya, produksi karet pun otomatis merosot.
ADVERTISEMENT
"Wabah penyakit sampai hilangnya produksi nasional 30 persen dalam setahun. Kita tidak ada survei detail mengenai berapa luas tapi ini diperkirakan lebih dari 500 ribu hektare dari 3,8 juta hektare itu terinfeksi oleh Pestalotiopsis," kata dia.
Ilustrasi pohon karet Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Kemudian, guncangan pandemi COVID-19 dan konflik geopolitik dunia juga turut berdampak, mulai dari perang Rusia dan Ukraina hingga konflik antara Israel dan Hamas mengganggu permintaan ekspor karet Indonesia.
Selain itu, faktor cuaca ekstrem akibat La Nina dan El Nino yang semakin sering membuat produktivitas karet alam juga menurun. Terakhir, tertekannya harga karet internasional menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi petani sebagai produsen di hulu industri.
"Dulu biasanya 1 kg karet itu bisa membeli 2 kg beras, sekarang kondisinya terbalik. Ini menimbulkan daya beli petani terhadap komoditi dan kebutuhan mereka sudah betul-betul rendah, jadi cenderung petani itu sudah tidak terinsentif untuk berada di komoditi karet ini," jelas Edy.
ADVERTISEMENT
Banyak Industri Pengolahan Tutup
Berbagai hambatan yang berdampak pada penurunan produktivitas karet ini akhirnya membuat banyak industri pengolahan karet di Indonesia gulung tikar. Edy menyebutkan, tercatat ada 46 dari total 152 pabrik yang tutup.
Selain itu, kelangkaan bahan baku bokar juga semakin memperburuk keadaan. Bokar diperlukan untuk memproduksi barang setengah jadi crumb rubber. Saat ini, kapasitas industri crumb rubber di Indonesia mencapai 5,4 juta ton, sementara produksinya hanya 2,1 juta ton.
"Industri crumb rubber sudah tidak ekonomis dan persaingan untuk memperoleh bahan baku di lapangan sangat luar biasa, sehingga harga beli bokar oleh masing-masing pabrikan terhadap petani ini sudah dalam posisi persaingan yang sudah tidak sehat," ucap Edy.
Kelangkaan bahan baku ini membuat Indonesia harus mengimpor dari luar negeri. Sejak tahun 2019 hingga Oktober 2023, nilai impornya mencapai 254.454 ton yang berasal dari Cote Divoire, Ghana, Thailand, Filipina, dan Liberia.
ADVERTISEMENT
"Impor bahan baku ini untuk sedikit menutupi kekurangan bahan baku yang ada di dalam negeri. Negara-negara asal impor ini beberapa sudah melaporkan tidak lagi memberikan kesempatan untuk mengekspor karena mereka juga ada pembatasan," pungkas Edy.