Kisah Perum PPD yang Pernah Bangkrut dan Hampir Dilikuidasi

8 Desember 2018 11:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bus Mercedes-Benz PPD 213 (Foto: Dok. InCUBUS )
zoom-in-whitePerbesar
Bus Mercedes-Benz PPD 213 (Foto: Dok. InCUBUS )
ADVERTISEMENT
Ace masih mengingat jelas masa-masanya saat bekerja menjadi pramudi atau supir bus di Perum Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) 30 tahun lalu. Ace muda bekerja pertama kali di BUMN transportasi darat itu pada tahun 80an.
ADVERTISEMENT
Dia juga mengalami masa-masa sulit saat perusahaan tidak dalam kondisi fit, bahkan nyaris pailit. Kata Ace, saat itu banyak supir yang gajinya tidak dibayarkan perusahaan secara lancar tiap bulannya. Bahkan Ace pernah ikut demo hingga dipecat.
"Paling berat itu tahun 1997-1998, gaji sampai 10 bulan (belum dibayar), ada demo besar-besaran. Saya pernah ikut, dua kali masuk DPR," kata Ace kepada kumparan saat ditemui di Kantor PPD, Cawang, Jakarta, Sabtu (8/12).
Barulah, saat Megawati menjadi Presiden RI, Ace mengaku PPD mendapatkan bus tapi bekas. Saat itu, gaji yang tertunggak juga mulai dibayar. Sempat dipecat dan akhirnya bekerja menjadi supir bus di tanah suci, Ace kembali ke Indonesia. Dia mendatangi PPD dan kembali melamar. Ace diterima kembali hingga kini, membawa bus TransJakarta Premium.
ADVERTISEMENT
Masa-masa sulit Perum PPD memang berlangsung lama. Sebagai BUMN tua karena berdiri sejak 1961 (bahkan cikal bakalnya sejak 1920 saat angkutan trem Belanda masuk Indonesia), perusahaan pernah memasuki masa kejayaan tapi sakit cukup lama.
Direktur Utama Perum PPD, Pande Putu Yasa (Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama Perum PPD, Pande Putu Yasa (Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan)
Direktur Utama Perum PPD, Pande Putu Yasa, mengatakan ada dua masalah yang mendera PPD, yaitu kualitas dari Sumber Daya Manusia dan operasional. Pande menjelaskan, saat itu SDM di perusahaan berasal dari latar pendidikan yang minim, mereka yang di kantor ataupun para supir di lapangan.
Belum lagi, operasional di lapangan juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kata dia, saat itu sistem pendapatan dari bus yang jalan setiap harinya tidak langsung masuk ke kas perusahaan, melainkan dibagikan di lapangan oleh para supir. Kondisi ini membuat kesehatan keuangan perseroan sangat terganggu.
ADVERTISEMENT
Apalagi, bus-bus PPD kala itu merupakan bus tua yang kinerja di jalanan tidak maksimal. Pande mengenang, pada saat itu, dengan sistem pendapatan langsung dibagikan para supir di lapangan, banyak dari mereka yang memanipulasinya. Bahkan Pande mengungkapkan kebocoran paling dominan ada di lapangan.
"Sebenarnya ada pendapatan minimal. Tapi kan orang di lapangan, misalnya dia biasa operasi 6 kali balik, tapi bilangnya cuma tiga kali karena mogok atau macet. Terus dia juga bermain dengan pengawas yang ada di lapangan dan itu sering terjadi, berlangsung cukup lama, dan bertahun-tahun yang menggerus hasil pendapatan perusahaan," kata Pande kepada kumparan.
Dia mengenang, saat itu gaji satu orang supir hanya Rp 1,6 juta per bulan. Sementara total karyawannya mencapai 3.700. Minimnya pendidikan SDM, kongkalikong supir dan petugas di lapangan, serta bus-bus yang jelek dan tidak layak jalan menjadi masalah yang berkaitan satu sama lain. Budaya ini pun membuat perusahaan sulit memberikan kesejahteraan kepada supir.
Bus Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) di Pool Ciputat, Tangerang Selatan (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bus Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) di Pool Ciputat, Tangerang Selatan (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
"Jadi waktu itu gajinya sampai tertunda berbulan-bulan. Bisa bayangkan, gaji tidak dibayar seperti apa? Sehingga waktu itu mereka resah, ini juga dampak dari operasional tidak berjalan baik. Sehingga berimbas pada mereka juga," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Kerugian keuangan hingga puluhan miliar rupiah pun, kata Pande, tidak terhindarkan. Perusahaan pun diambang kehancuran hingga terbit surat dari Kementerian BUMN untuk dilikuidasi pada 2012 lalu.
Sebenarnya, sebelum terbit surat kiamat dari Kementerian BUMN, perusahaan sudah berupaya untuk menyelesaikan masalah di internal. Tapi, perusahaan juga tidak mampu berbuat banyak karena keuangan tidak mencukupi, sistem kerja masih menggunakan yang lama, dan bus tidak layak jalan.
Tapi Pande berkeyakinan PPD masih punya harapan. Karena itu, dia pun mengubah citra PPD dari perusahaan bus rombeng dan merugi menjadi untung hingga Rp 12,8 miliar pada triwulan III 2018.
"Waktu itu kondisinya sudah diambang batas kehancuran bahkan sampai turun surat dari Menteri BUMN yang menyatakan PPD harus dilikuidasi. Tapi dalam benak saya menyatakan PPD tidak perlu dilikuidasi karena sangat dibutuhkan pemerintah dalam menjalankan roda transportasi yang ada di DKI dan sekitarnya," kata dia.
ADVERTISEMENT