Komisi Eropa Setop Minyak Sawit untuk Bahan Bakar

14 Maret 2019 12:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kebakaran hutan dan lahan perkebunan sawit rakyat terjadi di sejumlah tempat di Desa Bukit Kerikil Bengkalis dan Desa Gurun Panjang di Dumai, Dumai Riau, Senin (25/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid
zoom-in-whitePerbesar
Kebakaran hutan dan lahan perkebunan sawit rakyat terjadi di sejumlah tempat di Desa Bukit Kerikil Bengkalis dan Desa Gurun Panjang di Dumai, Dumai Riau, Senin (25/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid
ADVERTISEMENT
Komisi Eropa memutuskan menghentikan minyak sawit sebagai sumber bahan bakar kendaraan. Keputusan itu diambil, setelah Komisi berkesimpulan bahwa budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan, sehingga penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan.
ADVERTISEMENT
Hal itu berseberangan dengan kepentingan produsen minyak kelapa sawit utama Indonesia dan Malaysia.
Komisi menerbitkan kriteria untuk menentukan tanaman apa yang menyebabkan kerusakan lingkungan, pada Rabu (13/3). Aturan soal kriteria itu, seperti dilansir Antara, bagian dari undang-undang Uni Eropa baru untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan menjadi 32 persen pada tahun 2030.
Kriteria tersebut juga menentukan apa yang merupakan sumber terbarukan yang sesuai.
Penggunaan bahan baku biofuel yang lebih berbahaya akan ditutup secara bertahap pada 2019 hingga 2023 dan dikurangi menjadi nol pada 2030.
Undang-undang tersebut telah menyebabkan keributan di Indonesia, sehingga mengancam membawa perkara ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Langkah yang mirip, juga dilakukan Malaysia yang berupaya membatasi impor produk-produk Prancis.
ADVERTISEMENT
Tindakan balasan (retaliasi) itu merupakan tanggapan atas rencana Prancis menghapus minyak kelapa sawit dari biofuel pada 2020.
Pekerja membongkar buah kelapa sawit di unit pemrosesan minyak kelapa sawit milik negara. Foto: REUTERS / Tarmizy Harva
Biofuel utama adalah bioetanol, dibuat dari tanaman gula dan sereal, untuk menggantikan bensin dan biodiesel yang dibuat dari minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit, kedelai atau rapeseed (canola).
Komisi berkesimpulan bahwa 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. Itu dibandingkan dengan delapan persen untuk kedelai dan satu persen untuk bunga matahari dan rapeseed.
Pihaknya menetapkan 10 persen sebagai batas minimal bahan baku yang lebih sedikit dan lebih berbahaya.
Usulan awal Komisi Eropa itu menarik lebih dari 68.000 komentar dalam periode umpan balik publik selama empat minggu. Komentar berisi kritik dari para pencinta lingkungan karena mengizinkan sejumlah pengecualian.
ADVERTISEMENT
Produsen yang dapat menunjukkan, bahwa mereka telah meningkatkan hasil panen tanpa perlu ekspansi ke lahan non-pertanian, dapat dikecualikan. Perluasan tanaman semacam itu akan dianggap kurang berbahaya, jika misalnya dilakukan oleh petani kecil atau mengarah pada pemanfaatan lahan telantar.
Jokowi di launching peremajaan kebun kelapa sawit. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Di antara perubahan yang dilakukan setelah periode umpan balik, yakni ketentuan bahwa kebun plasma didefinisikan sebagai petani yang mandiri dan memiliki kurang dari dua hektare lahan. Budi daya di tanah telantar juga dibatasi.
Gerakan Kampanye untuk Transportasi Ramah Lingkungan menilai, pelabelan minyak sawit sebagai tidak ramah lingkungan, adalah tonggak penting dalam perjuangan untuk mengenali dampak iklim dari usaha perkebunan itu.
Namun, gerakan itu juga menilai kemenangan itu belum sepenuhnya, karena minyak kedelai dan minyak sawit masih bisa diberi label "hijau". Pemerintah Uni Eropa dan Parlemen Eropa memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan apakah akan menerima atau akan memveto keputusan tersebut.
ADVERTISEMENT