Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
ADVERTISEMENT
Konsumsi tembaga di dalam negeri Indonesia cenderung seret, hal ini membuat masa depan bisnis pengolahan (smelter ) logam jenis itu jadi suram.
ADVERTISEMENT
Direktur Utama PT Smelting Indonesia (PTSI) Hiroshi Kondo mengatakan, pertumbuhan industri hilir pengguna tembaga di Indonesia tidak sesuai proyeksi, seperti saat smelter tembaga itu didirikan lebih dari 20 tahun lalu.
“Kita (dulu) proyeksikan produk tembaga dari smelter ini, 100 persen akan dikonsumsi di dalam negeri. Opportunity-nya saat itu besar. Tapi kondisi saat ini tidak seperti itu,” katanya saat menerima kunjungan pimpinan sejumlah media, di kantornya di Gresik, Jawa Timur, Sabtu (24/8).
Demikian juga dengan komponen produksi lainnya, ujar Kondo, saat ini tidak seperti dulu. Harga energi dan juga upah tenaga kerja yang dulu murah sehingga menjadi keunggulan, saat ini tidak lagi.
Terkait seretnya pasar tembaga dalam negeri, Senior Manager Technical External Relation PTSI Bouman Tiroi Situmorang mengungkapkan, dalam 10 tahun terakhir sejak 2009, penyerapan tembaga produksi PTSI di dalam negeri terus turun.
ADVERTISEMENT
“Kemampuan demand industri tembaga di Indonesia cuma di kisaran 200 ribu ton per tahun. Puncaknya itu pada 2013, tapi setelah itu terus menurun,” papar Bouman.
Dari kebutuhan sebanyak itu, lanjut dia, awalnya bisa dipasok oleh PTSI sebanyak 130-140 ribu ton per tahun. Tapi kini cuma 90 ribu ton per tahun. Menurut Bouman, produknya paling banyak dijual ke pabrik kabel di Jakarta dan Tangerang.
Menurunnya serapan pasar tembaga dalam negeri, karena menurutnya, jumlah industri hilir pengolahan tembaga menurun. Pada saat yang sama, sebagian pasokan juga diisi produk impor asal China.
“Sebenarnya harga tembaga China sama saja, karena juga mengacu ke London Metal Exchange (LME). Tapi mereka bisa menawarkan skema pembayaran yang lebih ringan bagi pembeli,” kata Bouman. Dia menambahkan, “Margin laba smelter di China juga lebih tinggi, karena adanya dukungan pendanaan dari pemerintahnya. Jadi mereka lebih kompetitif.”
ADVERTISEMENT
PTSI merupakan custom smelter , yakni industri pengolahan logam yang tak memiliki tambang sendiri. Kebutuhan konsentratnya selama ini dibeli dari PT Freeport Indonesia, dan sebagian kecil dari PT Amman Minerals.
Bouman menjelaskan, konsentrat yang dibelinya dibayar ke pemasok seharga logam murni. Untuk tembaga harganya mengacu ke pasar dunia di LME. Sedangkan emas dan perak mengacu ke London Bullion Market (LBM).
Pendapatan PTSI berasal dari upah pengolah yang disebut treatment charge/ refining charge (TC/RC). Besaran TC/RC ditentukan oleh mekanisme pasar konsentrat.
“Katakanlah produksi konsentrat dunia di posisi 100 juta ton. Sementara kebutuhan smelter sebanyak 120 juta ton. Tentu harganya menjadi supplyer driven. Perusahaan tambang yang menentukan kemana masok konsentrat, yakni yang TC/RC-nya lebih rendah,” tutur Bouman.
ADVERTISEMENT
Dia menggambarkan, harga tembaga pada 2018 rata-rata 303 sen dolar per pon. PTSI mendapat TC/RC sebesar 24,3 sen dolar per pon atau sekitar 8 persen dari harga tembaga murni.
“Jadi itu porsi pendapatan kita dari setiap pon tembaga yang diproduksi. Secara persentase sangat kecil. Bahkan bila dibandingkan 20 tahun, justru menurun. Harga tembaga pada 1999 itu 71,3 sen dolar, dan kita terima TC/RC 17,5 sen dolar atau hampir 25 persen,” tandasnya.
PT Smelting Indonesia yang mulai beroperasi pada 1999, didirikan atas kerja sama Mitsubishi Corporation, Jepang, dengan PT Freeport Indonesia (PTFI). Sekitar 65 persen sahamnya dimiliki Mitsubishi Material Corporation, 25 persen milik PTFI, dan sisanya korporasi Jepang lainnya.
PTSI Memiliki kapasitas produksi hingga 300 ribu ton tembaga per tahun. Namun hingga kini operasinya belum pernah mencapai kapasitas produksi itu. Pada 2019, produksinya diproyeksi hanya 267 ribu ton dari target 291 ribu ton.
Dari total produksi, hanya 47 persen yang terserap pasar dalam negeri. Sisanya diekspor ke Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
”Kalau diekspor itu kita malah rugi. Karena harga jualnya sama saja, tapi ongkos logistik pengiriman jadi lebih mahal,” ujar Bouman.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, PTFI juga saat ini sedang bersiap membangun smelter sendiri. Smelter ini akan mampu mengolah 2 juta ton konsentrat hasil penambangan PTFI di Timika. Sedangkan kapasitas produksinya mencapai 550 ribu ton tembaga per tahun.
Jika pasar tembaga dalam negeri tak berubah dari saat ini, PTFI harus mengandalkan pasar ekspor dan bersaing dengan produk tembaga China yang lebih kompetitif.