Kunci Perangi IUU Fishing: Sikap Politik Pemerintah Harus Kuat

16 Oktober 2018 18:58 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa bersama menteri-menteri kelautan dari berbagai negara. (Foto: Dok. KKP)
zoom-in-whitePerbesar
Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa bersama menteri-menteri kelautan dari berbagai negara. (Foto: Dok. KKP)
ADVERTISEMENT
Indonesia telah menjadi contoh yang baik dalam memerangi penangkapan ikan ilegal (illegal, unreported and unregulated fishing/IUU Fishing). Banyak negara yang mengapresiasi kebijakan pemerintah Indonesia dalam memerangi IUU Fishing. Salah satu kunci suksesnya adalah: pemerintah memiliki keinginan politik (political will) yang kuat dalam mendukung pelestarian laut yang sehat.
ADVERTISEMENT
“Keinginan politik yang kuat sangat penting bagi pemerintah untuk mengambil tindakan, membuat keputusan, dan menegakkan hukum untuk mendukung pelestarian laut yang sehat,” tegas Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa saat menyampaikan paparan pada sesi ‘New and Emerging Policies to Address Fisheries Crime’ dalam acara Simposium Internasional ke-14 Mengenai Kejahatan Perikanan di UN City Complex, Copenhagen, Denmark, Senin (15/10).
Dalam pemaparannya di depan sekitar 300 peserta simposium dari berbagai negara, ahli hukum yang sering disapa Ota ini menjelaskan deskripsi tentang kebijakan pemerintah Indonesia dalam memberantas IUU Fishing dan dampak positif yang ditimbulkannya. Setelah itu, Ota menyampaikan beberapa pembelajaran (lesson learned) yang dihasilkan selama ini.
Paling tidak, ada dua pembelajaran penting dalam hal ini. Pertama, kehendak politik yang sangat kuat dari pemerintah sebagai dasar bagi pemerintah untuk mengambil tindakan dan keputusan serta melaksanakan penegakan hukum secara non-diskriminatif dalam mendukung upaya penyehatan laut. Kehendak politik yang kuat sebagai faktor penentu keberhasilan pemberantasan IUUF ini telah disampaikan dalam beberapa kesempatan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan terakhir kali disampaikan pada forum Sustainable Development Solution Network (SDSN) di New York September 2018 yang lalu yang digagas oleh Sekjen PBB.
ADVERTISEMENT
“Pada saat itu Menteri Susi menegaskan faktor strong political will yang dimiliki oleh Presiden Jokowi sehingga Menteri Susi bisa bekerja dengan independen dan efektif dalam mengatasi IUUF,” kata Ota.
Kedua, strategi pemberantasan IUUF yang seharusnya diterapkan oleh Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Menggunakan perangkat hukum pencegahan untuk mendorong tingkat kepatuhan yang optimal. Dorongan terhadap kepatuhan terhadap pemegang izin ini akan dikembangkan lewat mekanisme pengawasan kepatuhan dengan mengandalkan inspektur-inspektur perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang handal.
b. Mempromosikan penegakan hukum yang non-diskriminatif termasuk menggunakan pendekatan multi-door dan corporate criminal liability. Satgas 115 harus terfokus hanya menangani kasus kasus strategis saja.
c. Menjamin program-program pemerintah untuk mengefektifkan penegakan hukum harus sejalan dengan pemenuhan kriteria 3A, yaitu kemampuan untuk mendeteksi (ability to detect), kemampuan untuk merespon (ability to respond) hasil pendeteksian, dan kemampuan untuk menghukum (ability to punish).
ADVERTISEMENT
d. Mengembangkan sistem penegakan hukum terpadu ( integrated enforcement system) dengan membentuk penegakan hukum satu atap (One Roof Enforcement System/ORES) sebagaimana yang saat ini dimiliki oleh Satgas 115. Keberadaan ORES penting untuk memudahkan koordinasi antar lembaga.
e. Mengembangkan kerja sama internasional baik secara bilateral, multilateral, dengan UN agencies maupun Non UN Agencies seperti INTERPOL.
Ota menekankan keberadaan FishFORCE Academy yang saat ini baru dimiliki oleh Afrika Selatan dan Indonesia, tidaklah cukup. Paling tidak keberadaan FishFORCE Academy ada di berbagai benua, seperti Asia, Afrika, Amerika, Eropa.
“Apabila FishFORCE Academy sudah berkembang di benua masing-masing maka memudahkan Indonesia untuk melakukan kerjasama dengan FishFORCE Academy lainnya bermanfaat untuk memfasilitasi pengembangan kapasitas penegakan hukum terutama untuk aparat penegak hukum perikanan di seluruh dunia,” kata mantan Plt pimpinan KPK ini.
ADVERTISEMENT
“Kerja sama internasional ini dibutuhkan, sebab dari pengalaman kita menangani kasus Silver Sea 2, STS-50, Hua Li 8, Fu Yuan Yu 831, dan FV. Viking, kesemuanya dapat ditangani dengan sungguh-sungguh oleh aparat penegak hukum kita dikarenakan jaringan dan kerjasama internasional yang kuat dengan negara negara lain dan lembaga lembaga internasional,” imbuhnya.
Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa saat menyampaikan paparan pada sesi ‘New and Emerging Policies to Address Fisheries Crime. (Foto: Dok. KKP)
zoom-in-whitePerbesar
Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa saat menyampaikan paparan pada sesi ‘New and Emerging Policies to Address Fisheries Crime. (Foto: Dok. KKP)
Pentingnya Melawan IUU Fishing
Di awal paparannya, Ota menyampaikan fakta-fakta Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari 17.504 pulau dan luas perairan mencapai 6,4 juta km2, yang terletak di antara Samudera Hindia dan Pasifik. Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan panjang 108.000 km. Indonesia dianugerahi dengan keanekaragaman hayati. Pada tahun 2017, total potensi perikanan Indonesia diperkirakan berjumlah 12,54 juta ton. Indonesia juga tempat dari 17 persen terumbu karang dunia dan dikenal sebagai bagian dari segitiga karang dunia.
ADVERTISEMENT
IUU Fishing dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan membuat stok ikan global menipis dan mengancam konservasi sumber daya laut dan keanekaragaman hayati laut. Di Indonesia, IUU Fishing mengancam 65 persen terumbu karang dan juga secara langsung mempengaruhi jumlah nelayan. Hanya dalam satu dekade (2003 hingga 2013), jumlah nelayan menurun 50 persen dari 1,6 juta KK menjadi hanya 800 ribu KK. FAO telah menilai IUU fishing sebagai ancaman global utama terhadap perikanan berkelanjutan dan kondisi sosial ekonomi khususnya untuk perikanan skala kecil.
Menurut Ota, pengalaman Indonesia dalam menangani IUU Fishing telah menghasilkan kesimpulan bahwa kegiatan ini sering dikaitkan dengan kejahatan serius yang melibatkan kelompok penjahat terorganisir di lebih dari satu negara. Kejahatan-kejahatan ini termasuk penipuan, pemalsuan, perdagangan manusia, penyelundupan spesies yang terancam punah dan barang ilegal, korupsi, kejahatan pajak, dan pencucian uang.
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan kesimpulan ini, kami menganggap IUU Fishing dan kejahatan yang terkait dengan perikanan sebagai kejahatan perikanan transnasional dan terorganisir,” ucap dia.
Karena itu, pemerintah Indonesia mengambil sikap kuat terhadap IUU Fishing. Agenda ini adalah salah satu bagian dari visi Presiden Joko Widodo tentang kemaritiman global yang diterjemahkan oleh Menteri Susi Pudjiastuti menjadi tiga pilar pengembangan kelautan dan perikanan: kedaulatan, keberlanjutan, dan kemakmuran.
Terkait dengan hal ini, pemerintah memberlakukan moratorium kapal penangkap ikan yang dibangun di luar negeri (atau bekas kapal penangkap ikan asing) yang memungkinkan aparat untuk mengidentifikasi tingkat kepatuhan, mempelajari pola perilaku dan modus operandi IUU Fishing melalui analisis dan evaluasi mendalam. Moratorium ini berlangsung selama satu tahun.
ADVERTISEMENT
“Dengan melakukan analisis dan evaluasi, kami menemukan bahwa lebih dari 1.300 kapal nelayan asing yang terlibat dalam kegiatan penangkapan IUU, dan menemukan beberapa dari mereka juga melakukan pelanggaran serius seperti penipuan, pemalsuan, perdagangan manusia, dan penghindaran pajak,” terang Ota.
Pemerintah mencabut 291 lisensi, menangguhkan 61 lisensi, dan mengeluarkan 48 peringatan administratif terhadap pelaku IUU Fishing. Pemerintah juga menenggelamkan 488 kapal nelayan ilegal untuk mengirim sinyal penegakan yang kuat dan menciptakan efek jera, melarang transshipment dan segala bentuk trawl yang merusak lingkungan laut, serta menutup rapat-rapat investasi dalam penangkapan ikan dan melarang kapal asing dan eks asing untuk beroperasi di Indonesia. Pemerintah juga membentuk Satgas 115 yang memberantas IUU Fishing, yang personelnya terdiri dari Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polisi Air, Bakamla, dan Kejaksaan Agung, di bawah satu komando Menteri Kelautan dan Perikanan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan-kebijakan tersebut di atas sesuai dengan 5 (lima) prinsip umum untuk perikanan yang bertanggung jawab sebagaimana tercantum dalam Kode Etik FAO untuk Perikanan yang Bertanggung Jawab, yang sejalan dengan SDG 14 (kehidupan di bawah air). 5 (lima) prinsip umum adalah:
• Negara harus mencegah penangkapan ikan berlebih dan kapasitas penangkapan ikan berlebih
• Peralatan dan praktik penangkapan ikan yang selektif dan aman bagi lingkungan
• Negara harus memastikan kepatuhan dan penegakan tindakan konservasi dan pengelolaan
• Negara harus melakukan kontrol yang efektif terhadap kapal penangkap ikan dan penangkapan ikan
• Negara harus memulai dan memperkuat kerja sama internasional: tingkat sub regional, regional dan global.
Dampak Positif Perlawanan IUU Fishing
ADVERTISEMENT
Kebijakan Indonesia untuk melindungi sumber daya laut telah menghasilkan hasil yang positif. Hingga tahun 2018, sektor perikanan tumbuh di atas ekonomi nasional. Hingga triwulan III tahun 2017, pertumbuhan PDB perikanan mencapai 6,79 persen dan nilainya Rp 169,513 miliar. Angka-angka ini melebihi PDB nasional (5,03 persen) dan pertanian PDB (3,91 persen).
Konsumsi ikan di Indonesia meningkat di setiap provinsi. Sejak 2014 hingga 2017, konsumsi ikan meningkat menjadi 21,9 persen. Indonesia juga menikmati peningkatan signifikan stok ikan dari 7,31 juta ton /tahun pada tahun 2013 menjadi 12,54 juta ton /tahun pada 2017. Nilai Tukar Nelayan meningkat signifikan dibandingkan dengan indikator lainnya, dari 107,37 pada tahun 2014 menjadi 126,34 di 2018.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017, pendapatan non-pajak perikanan mencapai USD 32,3 juta , rekor tertinggi selama 10 tahun terakhir. Hal lain, menurut International Trade Centre 2017, Indonesia memimpin neraca perdagangan perikanan di ASEAN.