Larangan Ekspor Nikel: Penambang Menolak, Pengusaha Smelter Mendukung

23 Agustus 2019 10:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi nikel. Foto:  Selfy Sandra Momongan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi nikel. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah mewacanakan percepatan larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah yang semula berlaku pada tahun 2022, jadi Oktober 2019 ini.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP No.1/2017), pemerintah mengizinkan ekspor nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen sampai 2022. Sebenarnya Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) melarang ekspor mineral mentah. Hanya mineral yang telah diolah dan dimurnikan yang boleh diekspor.
Hal ini dilakukan untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia tak lagi hanya mengekspor komoditas mentah yang tak bernilai tambah dan harganya fluktuatif.
Namun pemerintah memberi relaksasi kepada perusahaan-perusahaan tambang yang sedang membangun smelter nikel. Harapannya, penambang nikel punya tambahan dana untuk membangun smelter dari hasil ekspor. Kini pemerintah berencana kembali menutup sepenuhnya ekspor bijih nikel, termasuk yang bekadar rendah.
ADVERTISEMENT
"Di tahun 2014 pemerintah tidak melihat ada pembangunan smelter, ya ada 1-2 (smelter), akhirnya apa yang terjadi. Tahun 2017 bisa ekspor lagi, dengan syarat. Pemerintah berikan kesempatan supaya dengan ekspor ini kita bisa bangun," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey ketika dihubungi kumparan, Kamis malam (23/8).
Lalu, bagaimana respons penambang soal percepatan aturan ekspor itu?
Pihak APNI mengaku keberatan dengan percepatan itu. Ia menilai, pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan aturan yang dibuat sebelumnya, yaitu penetapan waktu larangan ekspor pada 2022.
"Inilah yang kami minta pemerintah untuk komitmen, karena kami sedang lakukan pembangunan modalnya itu dari kuota ekspor," dalihnya.
Meidy menyebut, selama ini bukan hanya soal modal membangun smelter yang jadi kendala. Namun juga proses birokrasi tata niaga yang menurut pandangannya masih diselimuti hambatan. "Prosesnya (birokrasi) enggak sebentar," kata dia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy K Lengkey. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Hal itulah, yang juga jadi sebab mengapa pihaknya seringnya memilih mengekspor nikel ore (mentah) dibandingkan menjualnya ke pasar domestik. Pertama, soal harga yang dinilai lebih menguntungkan.
ADVERTISEMENT
"Kenapa kita mau ekspor, karena harga ekspor lebih enak, lebih untung dengan kadar rendah, harga lokal harga enggak manusiawi kalau kita bilang kasarnya. Harga lebih rendah, kadar lebih tinggi," sebutnya.
Di pasar nasional, ia juga mengklaim masih banyak terjadi praktik-praktik dari oknum yang menekan para penambang. Salah satunya, penggunaan surveyor oleh pembeli yang seringkali menyalahi aturan hingga berdampak pada kerugian penambang.
Berdasarkan rekomendasi pemerintah dalam surat edaran Kementerian ESDM No 05.E/30/DJB/2016 tentang surveyor disebutkan ada 5 perusahaan yang berhak menjadi surveyor resmi guna menentukan kadar nikel, yaitu Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service dan Anindya (Citra Buana).
Namun pada praktiknya, kata dia, pembeli seringkali melakukan pelanggaran dengan menunjuk surveyor sendiri untuk menguji kadar nikel. Praktik inilah alasan lainnya penambang enggan bertransaksi dengan pembeli domestik.
ADVERTISEMENT
“Yang dipakai itu surveyornya Intertek. Itu yang gunakan pembeli (nikel ore),” lanjutnya.
Imbasnya, bisa terjadi kejomplangan antara hasil uji kadar logam nikel antara hasil yang dilakukan oleh surveyor direkomendasikan pemerintah dengan pembeli. Sehingga, royalti yang diterima penambang pun tak jarang berkurang.
“Sewaktu FOB ya 1,7 persen hasilnya, tapi saat disurvei lagi oleh Intertek menjadi 1,3 persen atau 1,5 persen. Ini kan jauh sekali bedanya, kalau nol koma sekian masih wajar,” ujarnya.
Tak hanya itu, penambang juga bilang sistem pembayaran di pasar domestik masih seringkali berbelit-belit atau molor. “Proses pembayaran bisa lama antara 3-5 bulan,” imbuh dia.
Sementara jika diekspor, penambang mengaku bisa langsung mendapatkan Letter of Credit (LoC) agar dana investasi bisa segera digunakan untuk kegiatan operasional selanjutnya.
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Belum lagi, kata Meidy, jika pemerintah memaksakan mempercepat larangan ekspor nikel ORE itu dikhawatirkan bisa berdampak dari sisi tenaga kerja penambang kecil. Sebab, bakal ada ancaman gulung tikar.
ADVERTISEMENT
Ia mencontohkan, para pekerja di tambang dalam sebulan bisa menghasilkan 50 ribu ton yang membutuhkan paling tidak 50 karyawan yang terdiri dari operator alat berat, pemeliharaan, helper, dan sebagainya.
Saat ini, terdapat sekitar 26 perusahaan nasional yang sedang melakukan progres pembangunan smelter.
"Ada 26 perusahaan, dan 50 karyawan, total kira-kira akan ada 1.300 tenaga kerja yang akan terdampak. Kami itu pakai tenaga kerja lokal semua lho," ungkapnya.
Pihaknya mengatakan saat ini masih terus mengupayakan pemerintah konsisten dengan kesepakatan aturan pemerintah yang ditetapkan pada tahun 2020. Yaitu, PP No. 1/2017 tentang perubahan keempat atas PP 23/2010 terkait Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ia pun menyebut, pihaknya telah menyampaikan keberatan kepada pemerintah. Baik itu bertemu langsung ataupun bersurat resmi kepada Presiden, Sekretariat Negara, Wantimpres, Komisi VII, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan pihak-pihak terkait.
ADVERTISEMENT
Surat itu, kata dia, telah diterima oleh Presiden pada 5 Agustus 2019 lalu. Adapun, isi suratnya yaitu terkait tata niaga perdagangan bijih nikel, nilai tambah smelter, dan ketahanan dan ketersediaan bahan baku bijih nikel ke depan.
"Bapak Presiden menanggapi, dan sudah perintahkan untuk melakukan verifikasi dan gali data lebih lengkap," ujarnya.
Pengusaha Smelter Dukung Larangan Ekspor Nikel
Dihubungi secara terpisah, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menyatakan dukungannya agar pemerintah mempercepat larangan ekspor nikel. Hal itu akan memberi kepastian bagi para investor yang sudah membangun smelter, sesuai dengan arah kebijakan pemerintah yang mendorong hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
Gara-gara pemerintah melonggarkan ekspor nikel, menurut AP3I, smelter-smelter di dalam negeri jadi kekurangan bahan baku. Padahal uang yang dikeluarkan untuk membangun smelter tak sedikit.
ADVERTISEMENT
"Ini harus dipercepat, ini sudah dosa lama. Smelter-smelter yang sudah datang ke Indonesia merasa bahan baku kurang karena nikel dikapalkan (ekspor) mentah-mentah," tegas Pendiri AP3I Jonatan Handojo kepada kumparan.
Ia berpendapat, pelonggaran ekspor nikel tak akan membuat penambang-penambang kecil membangun smelter. Nyatanya, harga bijih nikel tak sebanding dengan biaya investasi untuk membangun smelter. Menurut dia, sampai kapan pun penambang-penambang itu tak akan membangun smelter meski ekspor nikel sudah dilonggarkan.
"Harga nikel itu USD 22 per ton, biaya bangun smelter USD 100 juta. Mau ekspor bijih nikel berapa banyak? Kan enggak masuk akal. Itu (jual bijih nikel untuk biaya bangun smelter) alasan saja. Akal-akalan pengusaha yang enggak punya uang untuk bikin smelter. Sekarang sudah dilonggarkan, enggak ada smelternya kan? Mereka cuma jual tanah air (bijih nikel) saja," ujar Handojo.
Ilustrasi tambang nikel. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Soal harga jual nikel ke smelter di dalam negeri yang dinilai terlalu murah, Handojo menjelaskan bahwa pihaknya sudah membeli sesuai dengan harga internasional, patokannya adalah harga di London Metal Exchange (LME).
ADVERTISEMENT
Harga nikel di LME memang kadang berbeda dengan Harga Mineral Logam Acuan (HMA) yang dibuat Kementerian ESDM. Kadang HMA nikel lebih tinggi dari harga di LME. Hal itu terjadi karena HMA tak setiap saat mengikuti harga di pasar internasional. Solusinya, kata Handojo, HMA harus lebih update mengikuti harga internasional.
"Patokan harga dari Kementerian ESDM harus berubah tiap minggu, patokannya harus update," tutupnya.