Lawan Gugatan Perusahaan Tambang Inggris, Indonesia Selalu Menang

25 Maret 2019 15:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lokasi stockpile tambang batu bara. Foto: Sigid Kurniawan/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi stockpile tambang batu bara. Foto: Sigid Kurniawan/Antara
ADVERTISEMENT
Kemenangan Indonesia atas gugatan yang dilayangkan Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd pada tanggal 18 Maret 2019 bukanlah yang pertama. Churchill dan Planet beberapa kali kalah, mulai dari tingkat PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) hingga persidangan di Arbitrase Internasional yang digelar International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).
ADVERTISEMENT
Penolakan itu menegaskan Indonesia tak melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) seperti yang dituduhkan Churchill dan Planet.
Kasus ini bermula saat Grup Nusantara mengelola area konsesi tambang batu bara seluas 350 km persegi di empat kecamatan di Kutai Timur yang berakhir pada 2006‑2007. Lahan itu selanjutnya dikuasai PT Ridlatama, namun selanjutnya diakuisisi Churchill dan Planet tanpa sepengetahuan pemerintah Indonesia.
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang kala itu dipimpin oleh Bupatinya, Isran Noor, membatalkan IUP PT Ridlatama pada 2010. Churchill dan Planet yang tak terima dengan pembatalan itu lantas mengajukan gugatan kerugian investasi sebesar USD 1,3 miliar Rp 18 triliun ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda pada 2010. Sebab mereka menilai merugi karena pembatalan izin tersebut.
ADVERTISEMENT
PTUN kemudian menolak gugatan itu dan menilai putusan Bupati sesuai prosedur. Lalu, pada Agustus 2011, Churchill dan Planet mengajukan banding ke PT TUN Jakarta. Namun, sayangnya, gugatan itu kembali ditolak.
Yassona Laoly rapat kerja dengan Komisi I DPR Foto: Ferio Pristiawan/kumparan
Hingga akhirnya, Churchill dan Planet mengajukan gugatan ke ICSID pada 22 Mei 2012. Proses hukum internasional pun bergulir. Hingga akhirnya pada 6 Desember 2016 di Washington DC. Pengadilan ICSID menolak seluruh gugatan Churchill dan Planet. ICSID juga menghukum mereka agar membayar ke pemerintah Indonesia sebesar USD 8,6 juta.
Upaya Churchill dan Planet tak berhenti sampai di situ. Keduanya pada tanggal 31 Maret 2017 mengajukan permohonan pembatalan putusan ICSID ke Konvensi ICSID.
Selain mengajukan pembatalan atas putusan Pengadilan ICSID, kedua penggugat juga meminta penghentian sementara pelaksanaan putusan Pengadilan ICSID yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, Konvensi ICSID tetap berpihak pada Indonesia yang menilai tidak bersalah. Hingga akhirnya, pada tanggal 18 Maret 2019 Komite ICSID menegaskan kemenangan Indonesia melalui sebuah putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap (Decision on Annulment). Dengan adanya keputusan ini, Indonesia tidak perlu membayar klaim rugi oleh Churchill dan Planet sebesar USD 1,3 miliar.
"Kemenangan yang diperoleh pemerintah Indonesia dalam forum ICSID ini bersifat final, berkekuatan hukum tetap sehingga tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh para penggugat," tegas Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, di kantornya, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (25/3).