Mengingat Kembali Kejayaan Produksi Gula Indonesia

28 Juni 2019 20:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi petani tebu Foto: Sarangib/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petani tebu Foto: Sarangib/Pixabay
ADVERTISEMENT
Gula merupakan salah satu komoditas bahan pangan pokok strategis. Sebab, komoditas ini penting untuk memenuhi kebutuhan baik bagi masyarakat maupun industri makanan dan minuman.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut dengan swasembada. Alhasil, setiap tahun, Indonesia harus mengimpor gula.
Ketua Umum Dewan Pembina DPP APTRI Arum Sabil mengisahkan, Indonesia sejatinya pernah mengalami masa kejayaan sebagai produsen, bahkan pengekspor gula. Pada medio 1930, Indonesia mempunyai lahan tebu sekitar 200 ribu haktare dengan produksi gula mencapai 2,9 ton per tahun.
"Sehingga Indonesia waktu itu dikenal sebagai pengekspor gula terbesar setelah Kuba," kata Arum di Gedung Tempo, Jakarta, Jumat (28/6).
Menurut dia, pada saat itu para petani tebu berhasil meningkatkan produktivitas dan penerapan pola usaha tani sehingga level rendaman tebu cukup tinggi. Rendaman tebu adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen.
ADVERTISEMENT
Jika rendaman tebu 10 persen, artinya dari 100 kilogram tebu yang digiling di pabrik gula akan diperoleh gula 10 kilogram. Di tahun 1930-an tersebut, tercatat tingkat rendeman mencapai 12-14 persen. Pun di sisi lain, pabrik berhasil meningkatkan produktivitasnya.
Bagian dalam gedung PT. Perkebunan Nusantara X (PTPNX). Foto: Dok. Ptpn X
Kondisi tersebut berbanding terbalik kondisi saat ini. Menurut catatan APTRI, tiga tahun yang lalu, Indonesia mempunyai lahan tebu seluas 470 ribu hektare. Saat ini, luas lahan tersebut hanya tinggal 400 ribu hektare.
Artinya, dalam jangka waktu tiga tahun Indonesia kehilangan 70 ribu hektare lahan tebu. Meski demikian, angka tersebut sejatinya masih dua kali lipat dari besaran lahan pada 1930.
Sayangnya produksi gula yang dihasilkan Indonesia justru semakin menurun. Berdasarkan data PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X), tahun lalu total produksi gula nasional mencapai 2,71 juta ton.
ADVERTISEMENT
"Saat ini luas hampir 2 kali lipat, kenapa krisis?" ujar Arum.
Menurut dia, salah satu penyebab tidak maksimalnya produksi gula dalam negeri adalah minimnya varietas bibit unggul. Arum menuding pemerintah lalai dalam mengembangkan lembaga penelitian untuk menciptakan bibit unggul.
Padahal di negara lain, pusat penelitian menjadi garda terdepan untuk sektor pertanian. Hal ini diperparah dengan keran impor yang kini dibuka besar-besaran. Dulu, penjualan gula dimonopoli sepenuhnya oleh Bulog.
Dialog Industri: Prospek Industri Gula Nasional Setelah Revitalisasi. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Lalu kebijakan tersebut diubah. Bahkan pemerintah kemudian membuat kebijakan yang isinya memperbolehkan perusahaan melakukan impor gula. Sayangnya, kebijakan ini dinilai cacat oleh Arum.
"Orang-orang cerdas tidak berakhlak, hanya fokus perburuan rente impor," ujarnya.
Menurut Arum, impor gula selama ini diloloskan dengan dua cara. Pertama, melempar isu bahwa harga gula melambung dan kedua stok gula berkurang. Padahal menurut Arum, sejatinya Indonesia bisa kembali pada masa kejayaan produksi gula.
ADVERTISEMENT
Sebab, Indonesia memiliki puluhan pabrik gula yang tersebar di berbagai wilayah. Sayangnya selama ini, pabrik-pabrik tersebut seolah dianaktirikan.
"Pabrik gula banyak yang dibiarkan merana. Diserang isu-isu, dianggap tidak efisien lalu ditutup. Banyak kebijakan kontradiktif yang sengaja diciptakan untuk kepentingan tertentu," tandasnya.