Menhub Usul 3 in 1 untuk Atasi Polusi Udara, Yakin Bakal Efektif?

15 Agustus 2023 12:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi joki 3 in 1. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi joki 3 in 1. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menhub Budi Karya Sumadi mengusulkan adanya kebijakan satu mobil diisi tiga sampai empat orang. Hal ini untuk mengatasi masalah polusi udara di Jabodetabek yang kian memburuk.
ADVERTISEMENT
"Kendaraan-kendaraan ini banyak yang menggunakan satu orang atau maksimal 2 orang. Karena itu dipertimbangkan untuk membuat 3 in 1 atau jadi 4 in 1," kata Budi Karya usai ratas di Istana Negara, Senin (14/8).
Menhub Budi Karya Sumadi pada peresmian Bandar Udara Ewer di Kabupaten Asmat, Papua Selatan, Kamis (6/7/2023). Foto: Dok. Kemenhub
Meski begitu, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang, menilai usulan menhub tersebut justru sangat tidak efektif. Sebab, kata dia, kebijakan semacam itu bahkan tak akan bisa meminimalisir kemacetan sama sekali.
“Kita tidak mungkin mengulangi kesalahan yang sama 3 in 1 dulu. Kita tidak ingin adanya joki 4 in 1 ada lagi, malah dijadikan mata pencaharian harian oleh warga sekitar,” kata Deddy saat dihubungi kumparan, Selasa (15/8).
Pengamat transportasi Deddy Herlambang. Foto: Aji Cakti/ANTARA
Menurut Deddy, upaya pengurangan polusi udara secara jangka pendek justru bisa dilakukan dengan menerapkan kebijakan ganjil-genap. Sementara rencana jangka panjangnya tetap pada kendaraan umum.
ADVERTISEMENT
“Untuk program jangka pendek buat aja rekayasa ganjil genap full day, pasti ada pengaruh. Motor juga kena ganjil genap,” kata dia.

Sejarah 3 in 1 di Jakarta

Usulan yang disampaikan Budi Karya memang bukanlah barang baru. Kebijakan itu pertama kali diperkenalkan pada 1992 saat Wiyogo Atmodarminto menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Uji coba pertama pun dilakukan pada 14 April-18 April 1992.
Kebijakan tersebut dibuat supaya lalu lintas Jakarta, khususnya di Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan S Parman, lebih tertib. Kebijakan itu juga tak lepas dari gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) X Gerakan Non-Blok di Ibu Kota pada Agustus-September 1992.
Ilustrasi lalu lintas di Jakarta - Kendaraan melintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (7/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Kala itu, kebijakan membatasi mobil pribadi yang lewat di kawasan tertentu dikenal sebagai kawasan pembatasan penumpang (KPP). Di luar negeri, kebijakan serupa lebih dikenal sebagai high-occupancy vehicle lane (HOV).
ADVERTISEMENT
Kebijakan itu muncul pertama kali di Amerika Serikat (AS) pada 1970-an. Uniknya, kebijakan itu justru diterapkan pada jalan bebas hambatan atau tol. Tidak seperti di Indonesia yang diterapkan ke jalan reguler.
Di Jakarta, larangan melintas kendaraan pribadi berpenumpang kurang dari tiga orang itu berlangsung pada saat jam padat, yakni pagi hari pukul 06.30-10.00 WIB. Jam-jam itu merupakan banyak warga berangkat kerja atau aktivitas lain.
Uji coba itu lalu dianggap berhasil sehingga kebijakan pembatasan dengan 3 in 1 dilanjutkan. Pemberlakuan 3 in 1 bahkan juga diterapkan pada sore hari saat jam pulang kerja.
Ilustrasi kendaraan bermotor di Jakarta Foto: Istimewa
Persoalannya, kebijakan 3 in 1 ini memunculkan masalah sosial baru. Yakni, adanya orang-orang yang menjadi joki 3 in 1.
ADVERTISEMENT
Mereka ini adalah orang-orang yang berdiri di jalan dan menyediakan jasa untuk ikut menumpang pada kendaraan pribadi. Tujuannya agar mobil tersebut memenuhi syarat minimal tiga penumpang dalam satu mobil.
Para joki ini akan menerima bayaran dari pemilik kendaraan tersebut. Seorang joki 3 in 1 bahkan bisa mendapat hingga Rp 150 ribu per hari.
Ahok kembali menjadi Gubernur non-aktif DKI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kebijakan 3 in 1 resmi dihapus per 5 April 2016. Kebijakan itu dianggap tidak efektif lantaran kemacetan masih terjadi. Terlebih adanya keberadaan joki yang menimbulkan masalah sosial baru.
Kala itu, Ahok ingin menggantinya dengan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP). Namun hingga saat ini ERP pun belum diterapkan.
ADVERTISEMENT