Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Menjawab Sengkarut Pakan Ternak Mahal Lewat Data BPS dan Kementan
16 Februari 2019 16:54 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
ADVERTISEMENT
Sengkarut mahalnya pakan ternak mulai membuat pusing petani dan peternak. Akibatnya, harga ayam, daging ayam, dan telur, melambung. Padahal, harga jagung di tingkat petani sudah turun, tapi harga pakan yang notabene disumbang mayoritas dari jagung, tak kunjung turun.
ADVERTISEMENT
Berbagai pihak saling menuding penyebab mahalnya harga pakan ternak. Dalam datanya, Kementerian Pertanian mengklaim, produksi jagung sejak 2014 terus naik, sehingga tak ada alasan harga pakan mahal. Di sisi lain, BPS juga mencatat, angka impor jagung naik, harusnya harga jagung untuk pakan ternak menurun.
Lantas, seperti apa faktanya di lapangan? Berikut kumparan sajikan data impor jagung dari BPS, produksi dan konsumsi jagung dari Kementan, serta faktanya di lapangan menurut petani dan peternak.
Impor jagung untuk pakan ternak terus menunjukkan peningkatan sejak sepuluh tahun terakhir, meskipun dalam 3 tahun terakhir berangsur menurun, namun nilainya masih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS ) dikutip kumparan, Sabtu (16/2), impor jagung selama 2018 sebanyak 730.918 ton atau nilainya sebesar USD 154,7 juta. Angka ini meningkat 37,8 persen jika dibandingkan 2017 yang sebesar 518.287 ton atau sekitar USD 101,6 juta.
ADVERTISEMENT
Di awal era pemerintahan Jokowi di 2014, impor jagung sempat mencapai 3,24 juta ton atau senilai USD 800,1 juta. Angka tersebut meningkat tipis 0,3 persen di 2015 menjadi 3,25 juta ton atau senilai USD 684,1 juta. Angka ini sekaligus menjadi nilai impor tertinggi di era pemerintahan Jokowi.
Namun di 2016, impor jagung pakan ternak ini menurun menjadi 1,13 juta atau senilai USD 225,7 juta.
Untuk lebih lengkapnya berikut kumparan sajikan data impor jagung untuk pakan ternak sejak 2008-2018 berdasarkan data BPS:
2008: 273.220 ton atau senilai USD 84,7 juta
2009: 333.932 ton atau senilai USD 69,9 juta
2010: 1,52 juta ton atau senilai USD 363,2 juta
ADVERTISEMENT
2011: 3,14 juta ton atau senilai USD 1 miliar
2012: 1,68 juta ton atau senilai USD 493,3 juta
2013: 3,18 juta ton atau senilai USD 909,2 juta
2014: 3,24 juta ton atau senilai USD 800,1 juta
2015: 3,35 juta ton atau senilai USD 684,2 juta
2016: 1,13 juta ton atau senilai USD 225,7 juta
2017: 518.287 ton atau senilai USD 101,6 juta
2018: 730.918 ton atau senilai USD 154,7 juta
Produksi Jagung
Untuk produksi jagung, BPS terakhir kali merilis data tersebut pada 2015. Artinya sejak 2016 hingga saat ini belum ada data produksi jagung yang dirilis BPS.
Namun sejak tahun lalu, pemerintah telah meminta BPS untuk kembali merilis data produksi jagung. Sebab data BPS akan dijadikan rujukan pemerintah untuk mengambil keputusan, khususnya terkait impor.
ADVERTISEMENT
Sejak 2008 hingga 2015, produksi impor jagung mencatatkan kenaikan hingga 20,2 persen.
Pada 2015, data produksi jagung mencapai 19,6 juta ton, meningkat 3,15 persen jika dibandingkan 2014 yang sebesar 19,0 juta ton.
Berikut produksi jagung sejak 2008-2015 secara nasional berdasarkan data BPS:
2008: 16,3 juta ton
2009: 17,6 juta ton
2010: 18,3 juta ton
2011: 17,5 juta ton
2012: 19,3 juta ton
2013: 18,51 juta ton
2014: 19,0 juta ton
2015: 19,6 juta ton
Harga Jagung Turun, Pakan Ternak Masih Mahal
Seorang petani yang juga pengepul jagung di Kecamatan Bungkal, Nanang Dwi Prasetyo mengaku, harga jagung saat ini turun drastis. Sebelumnya, harga jagung kering mencapai Rp 5.700 per kilogram (kg), saat ini Rp 4.700 per kg.
ADVERTISEMENT
"Turun drastis. Rp 4.700 itu jagung sangat kering," kata Nanang saat ditemui kumparan di rumahnya, Ponorogo, Jawa Timur.
Ia menjelaskan, turunnya harga jagung itu dipicu oleh kabar adanya jagung impor.
"Sebenarnya kami tidak setuju dengan adanya impor," kata Nanang.
Dia menambahkan, saat ini dia sangat sulit menjual jagung ke pabrik pakan ayam. Kalau pun bisa, harganya sangat rendah.
Panen jagung juga sedang berlangsung di Kabupaten Probolinggo. Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari mengungkapkan, daerahnya punya lahan 2.075 hektare (ha) yang sedang panen jagung. Sekitar 600 ha di antaranya sudah panen pada Januari lalu.
“Produksinya mencapai 8 ton pipilan kering per hektare,” katanya seperti dikutip dari Antara.
Meski sejumlah wilayah mulai panen jagung dan harganya turun, namun para peternak mengaku masih membeli pakan dengan harga mahal.
Seorang peternak ayam petelur di Kabupaten Ponorogo, Nganio menjelaskan, harga pakan ternak yang sebelumnya bisa dia tebus Rp 292.500 per sak, sekarang harganya Rp 320.000 per sak. Setiap sak (karung) berisi 50 kilogram.
ADVERTISEMENT
“Makanya saya beralih ke pakan ayam yang biasa. Sekarang harga pakan biasa juga sudah Rp 290.000-an," terang petani di Desa Bringinan, Kecamatan Jambon itu kepada kumparan.
Langkah itu terpaksa dilakukan, untuk menjangkau biaya produksi dan mengejar keuntungan. Tapi pilihannya itu berisiko menurunkan produksi telur.
Senasib dengan Nganio, peternak lainnya Agus Budi Nurcahyo juga mengaku serba salah. Tetap memakai pakan super, maka biaya jadi mahal. Sementara menurunkan standar pakan, produksi telurnya turun. Sehingga meskipun harga jual telur naik, dia tak bisa menikmati keuntungan lebih.
Saat ini, menurut Budi, harga telur di kandang mencapai Rp 21.000 hingga Rp 22.000 per kg. Biasanya hanya Rp 18.000 per kg.
"Iya harga pakan naik. Yang super Rp 320.000. Saya pakai itu juga sih. Daripada risiko hasil telurnya menurun," kata pria 28 tahun ini.
ADVERTISEMENT
Terkait tak sinkronnya penurunan harga jagung dengan harga pakan yang justru masih mahal, Andi Saleh punya penjelasan.
“Produksi jagung ada di seluruh Indonesia, sementara konsumen jagung terbesar ada di Jawa, terutama di Jawa Timur. Perbaikan infrasturktur logistik yang sifatnya lintas sektoral itu bisa dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian,” tegas Andi.
Produksi Jagung Meningkat Sejak 2014
Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian, sejak 2014, produksi jagung terus naik. Di tahun 2014, produksi jagung tercatat sebanyak 19 juta ton dengan konsumsi sebanyak 18,3 juta ton. Masih ada surplus sebanyak 700 ribu ton.
Di tahun 2015, Kementan mencatat kenaikan produksi jagung, yakni sebanyak 19,6 juta ton dengan konsumsi sekitar 19,2 juta ton.
Sedangkan di tahun 2016, produksi jagung tercatat sebanyak 23,5 juta ton. Konsumsi jagung nasional di tahun 2016 pun tercatat masih di bawah produksi, yakni sekitar 21,4 juta ton.
ADVERTISEMENT
Kementan pun kembali mencatat peningkatan produksi di tahun 2017, yaitu sebanyak 28,9 juta. Sementara, konsumsi jagung nasional di tahun 2017 tercatat menurun dibanding tahun sebelumnya, yaitu sekitar 18,7 juta ton.
Walaupun terus mencatat tren kenaikan produksi berdasarkan klaim Kementan, namun pemerintah justru mengimpor jagung untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Akhir tahun 2018, pemerintah memutuskan mengimpor sebanyak 100 ribu ton jagung yang dimasukkan secara bertahap, yakni 70 ribu ton dan 30 ribu ton.
Menyambut awal 2019, pemerintah kembali memutuskan untuk mengimpor sebanyak 30 ribu ton jagung tambahan. Dua minggu setelah keputusan impor jagung tambahan tadi, Bulog tercatat membuka lelang jagung impor tambahan sebesar 150 ribu ton.
Secara total, 280 ribu ton jagung diimpor pemerintah sejak akhir tahun lalu untuk memenuhi kebutuhan jagung nasional. Padahal, di tahun 2018, Kementan mencatat produksi jagung sebanyak 30,05 juta ton dengan konsumsi sekitar 15,5 juta ton.
ADVERTISEMENT
Ini berarti, harusnya masih ada surplus jagung yang bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan mendesak jagung. Namun, kembali lagi, pemerintah justru membuka keran impor untuk memasok jagung ke dalam negeri.