Menteri Era SBY: Omnibus Law yang Digagas Jokowi Meminggirkan Buruh

16 Februari 2020 21:51 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah buruh melakukan aksi tolak Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jakarta, Senin (13/1).  Foto: Fanny Kusumawardhani
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah buruh melakukan aksi tolak Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jakarta, Senin (13/1). Foto: Fanny Kusumawardhani
ADVERTISEMENT
Pembahasan RUU Omnibus Law saat ini sudah berada di tangan DPR, setelah pemerintah menyerahkan draf RUU tersebut dan Surat Presiden (Surpres) Jokowi pada Rabu (12/2) lalu. Menteri era Presiden SBY menilai, RUU Omnibus Law tersebut rawan memicu konflik, karena cenderung meminggirkan suara kaum buruh.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Kabinet periode 2010-2014, Dipo Alam, mengkhawatirkan pemerintah gegabah melangkah dalam menyiapkan rancangan Omnibus Law Cipta Kerja yang sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Inisiatif Pemerintah ini, menurut Dipo telah memancing reaksi keras kalangan buruh.
“Sejak awal sudah kelihatan (Omnibus Law) hanya akan memunculkan gejolak di tengah masyarakat. Di satu sisi Pemerintah melibatkan banyak sekali pengusaha dalam penyusunan draf Omnibus Law tersebut, namun di sisi lain kaum buruh yang juga akan terdampak justru dipinggirkan,” katanya dalam diskusi online yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Minggu (16/2).
Menurut Dipo, Pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun kebijakan. Setiap beleid yang berpotensi memperbesar ketimpangan atau mencederai rasa keadilan publik, sudah seharusnya tidak dirilis.
ADVERTISEMENT
Hal ini, lanjutnya, hanya akan memperbesar risiko terjadinya konflik di masa mendatang.
Di sisi lain, mantan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia era 1970-an ini, melihat cara Pemerintah Jokowi untuk meredam konflik kian mendekati cara-cara Orde Baru.
Jokowi dan SBY di Istana. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
“Kita ingat, pada 1978 dulu, saat Indeks Gini (ukuran kesenjangan) Indonesia mencapai 0.38, yang merupakan rekor tertinggi ketimpangan ekonomi, sehingga meningkatkan angka ketidakpuasan dan turunnya kepercayaan terhadap pemerintah, yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru justru adalah meluncurkan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila),” ujar Dipo.
Gaya seperti itu, dianggap Dipo berulang di Pemerintahan Jokowi. Pada 2010 lalu, saat angka ketimpangan mencapai rekor terbaru 0.41, yang merupakan angka terburuk sepanjang sejarah Indonesia, Pemerintah justru mengeluarkan Perpres No. 54/2017 mengenai pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), yang kini diubah lagi menjadi BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).
ADVERTISEMENT
Dia melihat ada kesamaan pola. Yakni di tengah situasi ketimpangan, masyarakat justru dicekoki isu toleransi oleh Pemerintah.
Isu struktural ketimpangan dan ketidakadilan, menurut dia justru direspons dengan proyek ideologisasi.
Padahal seharusnya potensi konflik itu diredam dengan menciptakan kebijakan yang lebih adil atau strategi pembangunan yang lebih memberdayakan masyarakat.
“Tapi ini justru diredam dengan Pancasila. Buntutnya, semua suara kritis terhadap Pemerintah kemudian dicap sebagai tidak Pancasilais, bahkan dianggap merongrong Pancasila,” pungkas Sekretaris Kabinet era Presiden SBY itu.