Menteri ESDM Sebut Pasokan Energi Bersih Jadi Kendala Pembangunan Smelter

5 Juli 2024 10:48 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Kantor Ditjen Migas, Jumat (16/2). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Kantor Ditjen Migas, Jumat (16/2). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter) memiliki tantangan khususnya dalam penyediaan tenaga listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT).
ADVERTISEMENT
Menurut Arifin, tenaga listrik yang dibutuhkan untuk smelter sangat besar dan mayoritas masih dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan dasar batu bara, dengan emisi gas buang yang besar.
Dia pun mencatat konsumsi listrik untuk kebutuhan smelter di Sulawesi sendiri, mencapai kurang lebih 20 gigawatt (GW), dan didominasi dari batu bara.
"Jadi kalau dihitung emisi karbonnya ini sekian juta ton, nah ini tentu saja akan menjadi satu tantangan ya buat industri-industri smelter yang ada di sini," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (5/7).
Arifin melanjutkan, hal tersebut menjadi tantangan bagi industri smelter karena sekarang dunia menuntut produk-produk yang merupakan hasil dari pemanfaatan energi bersih, terutama kawasan Eropa.
"Negara Eropa sudah berpacu untuk mendorong pemakaian energi bersih dan sudah mulai menerapkan mekanisme yang disebut 'Cross Border Carbon Mechanism', nanti di situ ada masalah perpajakan emisi gas CO2 ke depan," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) tersebut, tambah Arifin, nantinya akan ada pengenaan pajak karbon, sehingga produk industri dalam negeri akan terbebani dengan pajak karbon tersebut serta akan menjadi mahal dan tidak kompetitif.
Saat ini, pemerintah sedang menyusun rencana untuk bisa menyediakan tenaga listrik dengan energi yang memiliki emisi karbon yang rendah, karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar, seperti prospek sumber gas di Blok Masela yang akan produksi pada tahun 2030 dengan proyeksi sebanyak 10,5 juta ton LNG per tahun.
Foto udara aktivitas pengolahan nikel (smelter) yang berada di Kawasan Industri Virtue Dragon Nickel Industrial (VDNI) di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara. Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Kemudian di Selat Makassar ada lapangan miliki ENI yang akan produksi di tahun 2027-2028, serta satu blok di Sumatera Bagian Utara, yakni Blok Andaman.
Potensi besar lain, jelas Arifin, adalah energi matahari di Indonesia, kemudian potensi angin, namun karena terbatas industri pendukungnya, maka potensi-potensi besar tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Potensi lain yang belum dimaksimalkan adalah potensi hidro yang berlokasi di Kalimantan Utara dan Papua.
ADVERTISEMENT
Dengan memanfaatkan potensi-potensi tersebut, maka produk-produk yang dihasilkan berasal dari energi yang rendah emisi sehingga harganya bisa kompetitif. Arifin menilai, ini bisa menjadi peluang bagi industri agar Indonesia bisa menyiapkan produk-produk yang didukung oleh energi bersih untuk bisa bersaing secara global.
"Produk kita pun juga tidak tergantung kepada satu pasar yang belum menerapkan Cross Border Carbon Mechanism, karena produknya sudah standar internasional dan kompetitif," katanya.