Merasa Ekonomi Sulit, Pertumbuhan 7,07% Diragukan, Ini Penjelasannya

5 Agustus 2021 17:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga membawa paket beras bantuan. Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
zoom-in-whitePerbesar
Warga membawa paket beras bantuan. Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan ekonomi 7,07 persen pada kuartal II 2021, diragukan sejumlah kalangan. Keraguan muncul karena sebagian masyarakat merasa kondisi ekonomi masih sulit buat mereka.
ADVERTISEMENT
Simaklah cerita Rizky Dian (28 tahun), warga Sido Mulyo, Kota Batu, Jawa Timur. Jualan gorengan yang dijalankan bersama neneknya, terhenti sejak ada PPKM Darurat yang kini jadi PPKM Level 4. “Biasanya kan jam 9 malam (gorengan) baru habis, sekarang jam 8 malam harus sudah tutup. Padahal kita baru buka jam 5 sore,” keluh Rizky kepada kumparan.
Lain lagi cerita Muliawati, yang sehari-hari jadi pekerja rumah tangga. Selama sebulan, dia diberhentikan sementara oleh majikan, karena ibunya yang tinggal serumah dengan Muliawati terpapar COVID-19. "Enggak ada penghasilan, bansos juga enggak dapat. Kan KTP saya masih domisili kampung, bukan di sini," ujarnya.
Lantas seperti apa penjelasan soal pertumbuhan ekonomi 7,07 persen tersebut? Yang harus diingat, capaian sebesar itu diraih untuk periode kuartal II 2021, yakni rentang April-Juni 2021. Saat itu (Februari-Juni 2021) yang berlaku adalah PPKM Mikro, bukan PPKM Darurat atau PPKM Level 3-4 seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Angka kasus COVID-19 harian pun relatif landai, setelah memuncak pada rentang Desember 2020-Januari 2021 usai libur natal dan tahun baru.

Pembelian Mobil dan Belanja Konsumsi Melesat

Dengan kondisi itu, tak mengherankan jika Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga selama kuartal II 2021 tumbuh sebesar 5,93 persen secara tahunan (yoy). Angka tersebut melonjak drastis dari kuartal II 2020, ketika konsumsi rumah tangga terkontraksi hingga minus 5,52 persen.
“Konsumsi rumah tangga triwulan II 2021 tumbuh 5,93 persen yoy. Kalau kita lihat dari IKK sebesar 104,42, itu menunjukkan konsumen meyakini bahwa ekonominya membaik,” ujar Kepala BPS Margo Yuwono pada konferensi pers virtual, Kamis (5/8).
Sektor konsumsi ini, menjadi penyumbang terbesar yakni sekitar 60 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Selebihnya disumbang oleh perdagangan internasional (ekspor-impor), belanja pemerintah, dan investasi.
ADVERTISEMENT
Pada periode April-Juni 2021 itu, Indeks Kepuasan Konsumen (IKK) juga naik ke level 104,4 pada Mei 2021 dari sebelumnya di level 85 pada Februari 2021. Termasuk juga indeks mobilitas bulanan, pada Februari lalu masih minus 2, namun pada Mei sudah di posisi 5,2. Begitu pula dengan indeks penjualan ritel yang tercatat tumbuh 12,9 persen.
Pada rentang Maret-Mei 2021, pemerintah juga membebaskan pajak PPnBM pembelian mobil baru. Kebijakan ini bahkan diperpanjang hingga akhir tahun. Tak heran, jika data BPS mengungkapkan penjualan mobil melesat 758,68 persen dibandingkan kuartal II 2020. Demikian juga dengan penjualan motor yang tumbuh 208,64 persen dibandingkan kuartal II 2020.
Hal ini boleh jadi didorong ekspektasi masyarakat untuk bisa mudik, sebelum pemerintah resmi mengumumkan pelarangan. Momen bulan puasa dan Lebaran, juga terjadi pada kuartal II 2021. Meski tidak setinggi sebelum pandemi, belanja masyarakat cenderung naik karena ada insentif berupa THR.
ADVERTISEMENT
"Selain nilai IKK, ada beberapa faktor lain yang mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Antara lain penjualan eceran tumbuh sebesar 11,62 persen. Penguatan terjadi pada kelompok penjualan, yaitu makanan, minuman, dan tembakau, sandang, suku cadang dan aksesoris, bahan bakar kendaraan serta barang lainnya," papar Margo Yuwono.

Kontraksi Kuartal II 2020 Sudah Terlalu Dalam

Yang juga perlu diperhatikan masyarakat, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 sebesar 7,07 persen ini, dibandingkan secara tahunan atau year on year. Yakni terhadap periode sama kuartal II tahun 2020. Pada periode itu setahun lalu, pertumbuhan ekonomi sudah minus (kontraksi) sangat dalam yakni 5,32 persen.
"Tahun lalu kan kita PSBB ketat di kuartal. Jadi April-Mei itu 2020 masa paling dalam keterpurukan kita. Jadi transaksi ekonomi, mobilitas, kegiatan logistik, dan lainya turun drastis," kata Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual, saat dihubungi kumparan, Kamis (5/8).
ADVERTISEMENT
Karenanya Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, menyatakan angka pertumbuhan ekonomi ini harus dilihat secara menyeluruh.
"Jadi mesti dilihat dengan hati-hati, karena ini bersifat angka statistik. Jadi kalau misalnya tumbuhnya 7,1 persen, tapi tahun lalu kita minus 5,3 persen. Sehingga secara riil kita itu ekonomi dibandingkan sebelum COVID-19 (secara agregat) hanya tumbuh sekitar 2 persen," jelasnya.
"Jadi kalau dilihat angka di headline memang benar tinggi, tapi kalau dilihat secara detail, angka di dalamnya 7 persen itu sebenarnya tidak setinggi yang diperkirakan karena secara statistik tahun lalu sangat rendah," tambahnya.
Sehingga menurutnya, harus secara detail melihat perbandingan pertumbuhan ekonomi tahun lalu, juga realisasi perbaikan ekonomi di setiap sektor.
"Musti dilihat lebih detail karena ya kan pada akhirnya itu kan pertumbuhan ekonomi harus berpengaruh pada penyetaraan lapangan kerja, sama pengurangan pengangguran. Ya musti hati-hatilah melihat angka nominal 7 persen secara statistik," tutupnya.
ADVERTISEMENT