Migas Masih Diperlukan di Era Transisi Energi, Iklim Investasi Harus Diperbaiki

17 November 2022 11:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja sektor hulu migas tengah melakukan perawatan salah satu sumur minyak di lapangan minyak Duri yang dikelola PT Pertamina Hulu Rokan. Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja sektor hulu migas tengah melakukan perawatan salah satu sumur minyak di lapangan minyak Duri yang dikelola PT Pertamina Hulu Rokan. Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Di era kuatnya narasi soal transisi energi, realitasnya Indonesia masih membutuhkan pasokan minyak dan gas bumi (Migas). Karenanya Dewan Energi Nasional (DEN) menilai, perlu dukungan berbagai stakeholder untuk memperbaiki iklim investasi.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto, di antara bauran energi sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maupun Kebijakan Energi Nasional (KEN), kebutuhan migas masih dominan untuk memenuhi kebutuhan.
Hingga kini bauran energi baru terbarukan (EBT), kata dia masih berkisar 12 persen. Sementara tahun 2025 ditargetkan masih di kisaran 23 persen. Sehingga menurutnya, apabila EBT belum siap memasok porsi terbesar kebutuhan energi nasional, maka migas masih sangat diperlukan.
"Khususnya untuk transisi kita juga sekarang masih pakai BBM transportasi dan lainnya sehingga minyak dan gas masih diperlukan untuk kurangi impor untuk memenuhi kilang kita. Kapasitas eksisting [kilang minyak] 1 juta, separuhnya masih impor. Jadi industri hulu migas masih sangat penting," kata Djoko Siswanto, Kamis (17/11).
ADVERTISEMENT
Mantan Dirjen Migas Kementerian ESDM itu menambahkan, dominasi energi fosil baik itu migas maupun batu bara, tidak bisa dihindari. Pada sisi lain, untuk antisipasi isu lingkungan dari penggunaan energi fosil itu, maka teknologi harus digunakan untuk menekan emisi yang dihasilkan.
Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto (Kedua dari kanan) menyampaikan pernyataan pers di Sekretariat DEN pada Rabu (16/11). Foto: Nabil Jahja/kumparan
Sementara itu praktisi industri migas, Hadi Ismoyo, menyatakan situasi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) saat ini yang pasokan migasnya terdampak oleh invasi Rusia ke Ukraina, membuktikan masih vitalnya kebutuhan minyak dan gas bumi. Padahal kawasan Eropa dan AS, sudah lebih dulu mengembangkan energi baru terbarukan.
Selama EBT belum bisa memasok 100 persen kebutuhan energi, dia menilai energi fosil masih dibutuhkan dalam jangka panjang. Apalagi menurutnya, pasokan migas untuk sektor petrokimia dan turunannya, belum tergantikan dalam waktu yang lama.
ADVERTISEMENT

Kolaborasi Stakeholder Perbaiki Iklim Investasi

Sehingga Hadi mengatakan, diperlukan kolaborasi untuk menciptakan iklim investasi yang menarik di sektor hulu migas khususnya di Indonesia. “Kolaborasi ini sangat penting antara semua stakeholder agar tidak kehilangan momentum,” kata mantan Sekjen Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) tersebut.
Salah satu wadah kolaborasi itu, menurutnya, yakni forum '3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022' atau (IOG 2022).
Dia menilai IOG Convention tahun ini harus dimanfaatkan betul oleh pelaku usaha migas tanah air untuk berkolaborasi menghasilkan suatu gagasan atau ide baru yang konkret untuk diimplementasikan. “Membuat regulasi yang kongkret dalam bentuk Permen atau Kepmen yang langsung bisa di tindak lanjuti segera untuk meningkatkan produksi nasional,” ujar dia.
Konferensi pers International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (IOG) 2022 di Jakarta Pusat, Selasa (15/11/2022). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
“Kemudian membentuk organization capability yang tajam di tingkat SKK Migas dan KKKS untuk mengerjakan dan memonitor semua langkah-langkah konkret peningkatan produksi dengan time line dan budget dan resources mapping-nya,” ujar Hadi.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang juga perlu mendapat perhatian di IOG 2022, menurutnya yaitu revisi undang-undang migas. Pembahasan revisi UU Migas sangat krusial untuk segera dibahas dan diterbitkan. Hal tersebut menjadi kunci tercapainya target produksi minyak 1 juta barel per hari dan 12 bscfd gas tahun 2030 mendatang
Sementara itu Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai ada beberapa kunci untuk meningkatkan gairah iklim investasi hulu migas. Seperti perbaikan kebijakan fiskal, skema bagi hasil, dan keterbukaan data migas. Selain itu perbaikan masalah klasik, berupa perizinan serta isu transisi energi.
"Tapi di atas semua itu, yang paling mendasar adalah kepastian hukum terkait revisi UU Migas yang tak kunjung tuntas. Ini sebenarnya menjadi inti masalah investasi migas di Indonesia.aitu revisi UU Migas yang tidak kunjung selesai,” ujar Mamit.
ADVERTISEMENT
“IOG harus bisa menjadi media penengah sekaligus antara kepentingan pemerintah dan pengusaha minyak dan gas. IOG harus mampu memberikan rekomendasi kepada pemerintah,” tegasnya.