Mimpi Bali United Bangun Industri Bola seperti Jepang dan Korsel

25 Oktober 2019 16:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
CEO Bali United, Yabes Tanuri. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
CEO Bali United, Yabes Tanuri. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Bicara mengenai industri sepak bola tanah air banyak hal yang menarik untuk dibahas. Dari Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) yang terlibat banyak kasus, belum lagi kematian suporter, hingga profesionalitas tiap tim mengelola bisnis.
ADVERTISEMENT
Industri sepak bola Tanah Air memang terlalu banyak lika-liku untuk menuju sebuah ladang bisnis yang sehat. Namun, di tengah berbagai tantangan yang ada, Bali United mencoba menerapkan bisnis industri bola yang sehat.
Tak salah rasanya menyebut Bali United sebagai tim paling profesional yang ada saat ini di kancah domestik. Bagaimana tidak, tim yang sebelumnya bernama Persisam Putra Samarinda ini baru lahir sekitar 4 tahun lalu dan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 17 Juni 2019. Bali United pun tercatat sebagai klub sepak bola pertama dan satu-satunya di Indonesia yang telah go public.
Pada pembukaan perdagangan perdananya, harga saham perusahaan langsung melambung 69,14 persen ke level Rp 296 per saham dari harga saham perdana Rp 175 per lembar. Otomatis auto reject. Aturan auto reject berlaku jika harga saham naik atau turun secara drastis dalam rentang waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
Klub ini melepas 33,33 persen kepemilikannya dengan total 2 miliar unit saham. Dengan demikian, dana yang diraup oleh klub ini mencapai Rp 350 miliar.
Bali United resmi menjadi klub pertama yang go public di Asia Tenggara dan kedua di Asia. Jadi jangan heran jika Chief Executive Officer (CEO) PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) atau Bali United, Yabes Tanuri menyebut, industri sepak bola Indonesia masih sangat muda.
“Jadi kita bilang industri ini dari keuangan masih sangat muda,” katanya dalam program The CEO kumparan di Kantor Bali United, Wisma Achilles, Jakarta Barat, Kamis (19/9).
Bagi sebuah tim bola, aksi go public akan membuat kinerja bisnis semakin transparan dan meningkatkan kepercayaan kepada pendukung. Sebagai catatan, dalam sebuah jurnal Floating European Football In The Stock Market (2010), keuntungan sebuah tim sepak bola melakukan IPO yaitu untuk menarik perhatian investor.
The CEO Bali United Yabes Tanuri. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Yabes mencatat, pendapatan mayoritas Bali United saat ini mengandalkan sponsorship. Sementara untuk industri bola di Eropa, 60 persen pendapatan tim berasal dari hak siar (TV Right).
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Bali United melakukan diversifikasi bisnis. Bali Bintang Sejahtera (BOLA), sebagai induk dari Bali United memiliki anak perusahaan yaitu PT Karya Kreasi Bangsa (KKB). Menariknya, PT KKB mengambil peluang dari salah satu lini bisnis dalam industri sepak bola Indonesia. Mereka bergerak di bidang agensi periklanan olahraga. Meski awalnya hanya membantu sponsor untuk Bali United, akhirnya ada klub-klub lain yang menggunakan jasanya.
Selain dari bisnis agensi periklanan, Bali United juga melakukan scouting dari U-13 hingga U-23 untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) di dunia sepak bola Tanah Air. Sebab, pemain-pemain bola Indonesia belum banyak yang terbiasa bermain profesional.
“Enggak besar (anggaran). Yang besar itu dedikasi melakukan itu karena take time sama itu emang butuh waktu. Pemain yang basic skill masih jelek,” kata Yabes.
CEO Bali United, Yabes Tanuri. Foto: Sabryna Putri Muviola/kumparan dan Helmi Afandi/kumparan
Sementara itu, Yabes melakukan kunjungan ke berbagai negara untuk melihat bagaimana profesionalitas tim-tim besar dalam menerapkan skema pengembangan pemain muda. Ia mendapati banyak pusat pendidikan atau akademi untuk mendidik talent-talent bola dari usia anak-anak hingga remaja. Selain itu, negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah menerapkan latihan profesional kepada bibit-bibit muda sejak usia 10 tahun hingga 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Ia pun tak menyangkal Indonesia memiliki berbagai talenta yang lebih beragam dari Sabang hingga Merauke. Potensi Indonesia sangat besar namun sayangnya tidak diimbangi dengan sistem yang profesional, minimnya akademi bola. Alhasil, belum banyak pemain asli Indonesia yang dilirik dan bisa bermain di klub bola luar negeri.
“Kita ada pemain yang sampai diambil Malaysia tapi berapa banyak yang diincar. Itu deh kita maunya dari 450 pemain 200 diincer luar negeri, kalau sekarang Andik Vermansyah, Terens Puhiri di tangan saya 10 sudah selesai lah,” imbuhnya.
Pemain Persebaya dan Bali United berduel. Foto: Dok. Media Bali United
Seperti kebanyakan tim-tim di berbagai negara yang rajin membeli pemain-pemain asing, klub bernama Jalak Bali itu juga mengakui membeli pemain-pemain asing untuk kebutuhan tim. Sebab, pemain dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan dalam hal-hal tertentu seperti soal pengetahuan dan profesionalitas.
ADVERTISEMENT
Yabes menuturkan, saat ini total pemain Bali United ada sekitar 40 orang. Gaji pemain Bali United rata-rata berkisar Rp 80 juta hingga USD 200 ribu atau sekitar Rp 2,84 miliar per tahun (Kurs Rp 14.200).
“Kita ada asuransi dan BPJS Kesehatan (dan) Ketenagakerjaan kita oke. Kecuali yang tidak di-cover BPJS, tapi enggak signifikan. Kita ada pengobatan tapi enggak signifikan,” imbuhnya.
Saat ini, Bali United memiliki total fans di Instagram sebanyak 794 ribu pengikut, 566 ribu pengikut di Twitter. Yabes menilai, fanatisme dalam sepak bola merupakan hal yang positif. Bahkan ia menegaskan, seharusnya setiap tim sepak bola memiliki pendukung yang fanatik.
“Fanatisme saya suka banget asal jangan anarki. Saya suka fanatisme. Fanatisme bagus banget, itu sudah hal yang musti ada di tim bola. Yang musti kita kurangi adalah anarkinya itu yang musti berkurang secara perlahan,” kata Yabes.
ADVERTISEMENT
Selain itu, untuk mendukung industri sepak bola ke depannya, sebuah tim harus bisa mengelola pendukung sebagai pangsa pasar utama. Bali United pun berusaha secara berkelanjutan mengelola para suporter sehingga bisa mendukung kelanjutan bisnis klub. Pengelolaan yang baik tentunya berdampak pula pada tingkat keterisian lapangan saat pertandingan. Saat ini, Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali yang menjadi markas Bali United memiliki kapasitas 23.000 hingga 27.000 orang. Sementara untuk okupansi atau tingkat keterisian rata-rata 17.000 penonton per pertandingan.
The CEO Bali United Yabes Tanuri. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Bahkan Yabes mengatakan, salah satu tim terbesar di dunia, Arsenal membutuhkan waktu 30 tahun untuk menyelesaikan persoalan anarki pendukung sepak bola. Yabes mengklaim, Arsenal menyelesaikan persoalan suporter dengan membenahi infrastruktur seperti stadion, harga tiket dan juga penjualan merchandise (jersey dan lain-lain).
ADVERTISEMENT
“Akhirnya sudah enggak ada kan sekarang? Mereka bilang adalah caranya infrastruktur,” ucapnya.
Namun sayangnya belum banyak tim-tim di Indonesia yang memanfaatkan pendukung sebagai pangsa pasar utama.
Menurut Yabes, saat ini perkembangan bisnis sepak bola bukan hanya sekadar membayar untuk menonton pertandingan. Tapi lebih dari itu, saat ini sepak bola mengarah ke entertaint bahkan wisata. Seperti bagaimana tim-tim di Liga Eropa menyediakan restoran di dalam stadion hingga membuat pengunjungnya dapat menonton bersama keluarga.
“Enggak mungkin kalau cuma dikasih bangku Rp 500 ribu. Tapi kalau dikasih bangku sama makanan kayak cafe harga Rp 300 ribu masuk dong,” kata Yabes.
Kembali ke klub bola Indonesia, ia melihat infrastruktur mulai dikembangkan dan manajemen mulai dijalankan secara profesional. Yabes optimistis keberlangsungan industri sepak bola di Indonesia masih memiliki prospek yang positif bagi investor.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya ada investor asing yang sudah masuk, ke klub bola lain. Cuma perusahaan masih tertutup,” pungkasnya.