Minta PKPU Dimoratorium, Pengusaha Kirim Surat ke Jokowi

7 September 2021 15:21 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani. Foto: Selfy Momongan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani. Foto: Selfy Momongan/kumparan
ADVERTISEMENT
Para pengusaha mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) moratorium Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU dan proses kepailitan.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengaku sudah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai usulan dari para anggotanya.
"Jadi surat kepada Presiden (Jokowi) sudah kami berikan," kata Hariyadi saat Konferensi Pers Apindo secara virtual, Selasa (7/9).
Selain bersurat kepada presiden, Apindo juga sudah berusaha menyampaikan beberapa permasalahan kepada Kementerian Hukum dan HAM terkait Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut.
"Karena beliau yang membawahi mengenai masalah dan kepailitan dan PKPU khusus membawahi pengurus dan regulatornya sudah kami sampaikan dan kami undang juga," jelas dia.
Dia mengatakan, untuk saat ini Apindo masih menunggu pertemuan resmi untuk membahas beberapa pokok masalah dan usulan dimasukkan di dalam Perpu tersebut. Salah satunya adalah memperbaiki tata cara hukum acara.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Hariyadi Sukamdani mengaku, sudah banyak terjadi kasus PKPU dan juga kepailitan yang meningkat di tengah pandemi COVID-19. “Hal ini disebabkan kondisi ekonomi kita yang tidak seperti yang kita harapkan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pelaku usaha melihat adanya fenomena pengajuan PKPU dan kepailitan yang tidak bertujuan untuk menyehatkan perusahaan. Bahkan, pengajuan tersebut justru untuk mendorong perusahaan pailit.
“Padahal maksud dan tujuan PKPU ini untuk memberikan hak kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk dapat meminta penundaan kewajiban pembayaran utang dalam rangka menyehatkan perusahaan,” tuturnya.
Selain itu, di dalam praktiknya justru 95 persen yang mengajukan kepailitan adalah kreditur. Padahal dalam formatnya seharusnya yang mengajukan kepailitan adalah debitur.
Ia mencontohkan kasus format pengajuan kepailitan di negara lain, seperti Filipina Airline yang diberikan kesempatan untuk restrukturisasi. Nah, di Indonesia formatnya beda.
“Jadi pengambilan keputusan apakah ini akan dicapai kesepakatan untuk penjadwalan atau restrukturisasi utangnya atau ditolak, kalau diterima terjadi restrukturisasi utang. Tapi kalau ditolak langsung pailit,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Hariyadi, seharusnya sebelum menentukan perusahaan pailit dilakukan insolvensi test atau tes untuk mengukur seberapa tingkat kemampuan perusahaan layak beroperasi.
Lalu hal lain yang menjadi perhatian Apindo yaitu dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ini tidak mengenal nebis in idem atau tidak dapat menggugat perkara yang sama.
“Tapi di UU PKPU tidak mengenal itu, jadi gugatan PKPU itu bisa dilakukan berkali-kali. Yah kalau begini perusahaan sehat yang dikerjain oleh orang yang enggak bener ya bangkrut lama-lama. Lama-lama kan kreditur yang lain ataupun vendornya atau customer takut karena dianggap bermasalah,” jelasnya.