Pengusaha Ngotot Minta Pemerintah Revisi UU PKPU dan Kepailitan, Kenapa?

7 September 2021 14:05 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Apindo, Hariyadi Sukamdani. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Apindo, Hariyadi Sukamdani. Foto: Kevin S. Kurnianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Para pengusaha yang tergabung Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendesak supaya pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) moratorium gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengusaha juga mendesak pemerintah melakukan revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Pandemi yang telah menjalar sejak 2020 telah melumpuhkan operasional usaha. Saat ini pengusaha meminta pemerintah turun tangan untuk membantu meringankan beban pelaku usaha.
Mengapa harus moratorium dan revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU?
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengaku, kasus PKPU dan juga kepailitan meningkat di tengah pandemi COVID-19.
“Hal ini disebabkan kondisi ekonomi kita yang tidak seperti yang kita harapkan,” katanya saat konferensi pers virtual Apindo, Selasa (7/9).
Dewan Pimpinan Harian Apindo, Hariyadi Sukamdani. Foto: Selfy Momongan/kumparan
Selain itu, pelaku usaha melihat saat ini pengajuan PKPU dan kepailitan justru tak berdampak pada penyehatan perusahaan. Bahkan, pengajuan tersebut justru untuk mendorong perusahaan pailit.
ADVERTISEMENT
“Padahal maksud dan tujuan PKPU ini untuk memberikan hak kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk dapat meminta penundaan kewajiban pembayaran utang dalam rangka menyehatkan perusahaan,” tuturnya.
Hariyadi melanjutkan, di dalam praktiknya justru 95 persen yang mengajukan kepailitan adalah kreditur atau pemberi utang. Padahal, format seharusnya yang mengajukan kepailitan adalah debitur atau peminjam.
Ia mencontohkan kasus format pengajuan kepailitan di negara lain, seperti Filipina Airline yang diberikan kesempatan untuk restrukturisasi. Nah, di Indonesia formatnya beda.
“Jadi pengambilan keputusan apakah ini akan dicapai kesepakatan untuk penjadwalan atau restrukturisasi utangnya atau ditolak, kalau diterima terjadi restrukturisasi utang. Tapi kalau ditolak langsung pailit,” imbuhnya.
Menurut Hariyadi, seharusnya sebelum menentukan perusahaan pailit dilakukan insolvensi test atau tes untuk mengukur seberapa tingkat kemampuan perusahaan layak beroperasi.
ADVERTISEMENT
Lalu hal lain yang menjadi perhatian Apindo yaitu dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ini tidak mengenal nebis in idem atau tidak dapat menggugat perkara yang sama.
“Tapi di UU PKPU tidak mengenal itu, jadi gugatan PKPU itu bisa dilakukan berkali-kali. Yah kalau begini perusahaan sehat yang dikerjain oleh orang yang gak bener yang bangkrut lama-lama. Lama-lama kan kredit yang lain atau pun vendornya atau customer takut karena dianggap bermasalah,” jelasnya.