Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah menerbitkan aturan mengenai impor produk melalui e-commerce melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199 Tahun 2019. Peraturan tersebut secara resmi akan diterapkan pada 30 Januari 2020, atau pada pekan ini.
ADVERTISEMENT
Aturan itu merupakan revisi dari PMK Nomor 182/PMK.04/2018 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman.
Salah satu revisi yang dilakukan yaitu pada poin nilai pembebasan (de minimis) atas barang kiriman impor, sebelumnya USD 75 atau Rp 1.050.000 (kurs Rp 14.000) menjadi USD 3 atau Rp 42.000 per kiriman atau consignment note.
Berikut hal yang perlu diketahui soal aturan baru impor produk lewat e-commerce:
Berawal dari Keluhan UMKM
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi mengungkapkan, kebijakan ini merupakan hasil kajian dari permintaan beberapa asosiasi, antara lain Asosiasi IKM, masyarakat industri dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mengeluhkan makin banjirnya barang impor yang bebas bea masuk.
Hingga November 2019, berdasarkan catatan dokumen impor , barang kiriman impor di tanah air mencapai 49,69 juta paket. Dari angka itu, sebanyak 98,6 persen nilainya di bawah USD 75 sehingga bebas bea masuk.
Sementara tahun 2018, impor barang kiriman hanya 19,57 juta dan tahun 2017 hanya 6,1 juta paket. Saat ini, produk pelaku UMKM begitu tertekan karena barang kiriman impor yang terus melonjak dengan harga lebih murah.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah memperhatikan masukan khusus yang disampaikan pengrajin produsen barang yang digemari dan banjir dari luar negeri. Itu membuat produk mereka seperti tas, sepatu dan produk garmen tidak laku. Atas dasar itu pemerintah memberlakukan tarif khusus," papar Heru dalam konferensi pers di Kemenkeu, Jakarta, Senin (23/12).
E-commerce Diminta Terbuka
Bea Cukai meminta data transaksi barang yang harus dikirim dari luar negeri atau impor dalam e-commerce tersambung dengan sistemnya.
Menurut Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi, hal itu dilakukan untuk menghilangkan praktik under invoice atau nilai yang dilaporkan lebih rendah dan mengurangi miss declaration.
"Skema ini akan memungkinkan platform marketplace mengalirkan data transaksi e-commerce ke sistem Bea dan Cukai secara online," paparnya.
ADVERTISEMENT
Dia mengaku, selama ini terkadang terdapat perbedaan antara transaksi sebenarnya dengan nilai barang yang dideklarasikan. Hal tersebut tentu merugikan negara karena pajak yang diterima lebih rendah.
"Ini dimaksudkan sebagai bentuk transparansi antara kita semua yang terlibat dalam penanganan bisnis e-commerce, baik pengusaha dan pemerintah," kata Heru.
Menurut dia, bagi perusahaan e-commerce yang bersedia untuk mengintegrasikan datanya, Bea Cukai akan memberikan insentif khusus, yakni perbedaan penanganan barang saat masuk ke Indonesia.
"In return, Bea Cukai bisa lakukan pembedaan treatment yang terhubung dengan yang tidak terhubung. Bisa (lebih cepat)," ucapnya.
Rugikan Pengusaha Lokal
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menghitung potensi kehilangan pendapatan industri dalam negeri sebelum diterapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman.
ADVERTISEMENT
Dari hitungan Apindo, potensi kehilangan pendapatan industri dalam negeri dari barang impor e-commerce tersebut mencapai USD 3,75 miliar atau setara Rp 52,5 triliun (kurs Rp 14.000) sepanjang 2019.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menjelaskan dalam hitungannya, ia merata-ratakan kenaikan transaksi impor melalui e-commerce sebanyak 5 persen per tahun. Pada 2019, jika tak terkena distorsi kenaikan transaksi e-commerce sekitar 8 juta.
"Ambil kata 58 juta kiriman, dikurangi 8 juta kiriman, jadi 50 juta. 50 juta, kali USD 75, ketemu USD 3,750 miliar, itulah potensi yang selama ini hilang," kata Hariyadi di kantor Apindo, Jakarta, Kamis (23/1).
Hariyadi melanjutkan, potensi tersebut seharusnya bisa dinikmati oleh industri dalam negeri. Oleh sebab itu, pihaknya mendukung penerapan PMK tersebut karena mengarahkan pada keadilan dari kompetisi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengakui 57 juta paket impor yang masuk tahun lalu sangat mengganggu sektor-sektor offline.
"Kami berjualan baik di offline maupun online menjadi sangat sulit untuk berkompetisi," tutur Budi.