Neraca Pembayaran RI di 2018 Defisit, Kedua Kalinya di Era Jokowi

8 Februari 2019 17:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) mencatat neraca pembayaran Indonesia (NPI) sepanjang tahun lalu defisit USD 7,1 miliar, anjlok dari 2017 yang mencatatkan surplus USD 11,6 miliar. Ini merupakan kedua kalinya NPI mencatatkan defisit di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, setelah di 2015 NPI mencatatkan defisit USD 1,1 miliar.
ADVERTISEMENT
Jika ditarik lebih jauh lagi selama sepuluh tahun terakhir atau sejak 2008, NPI sudah lima kali mengalami defisit. Pada 2008 NPI mencatatkan defisit sebesar USD 1,9 miliar; 2010 defisit USD 7,1 miliar; 2015 defisit USD 1,1 miliar; 2013 defisit USD 7,3 miliar, dan tahun lalu defisit USD 7,1 miliar. Adapun penyebab utama dari anjloknya NPI selama tahun lalu karena defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang jauh lebih besar dibandingkan surplus transaksi modal dan finansial. Berdasarkan data BI, sepanjang tahun lalu CAD mencapai USD 31,1 miliar atau 2,98 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara transaksi modal dan finansial di tahun lalu mencatatkan surplus sebesar USD 25,2 miliar. Untuk CAD, hal ini utamanya disebabkan oleh defisit neraca perdagangan yang juga melebar sepanjang tahun lalu. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Statistik BI Yari Kurniati mengatakan, neraca perdaganga yang mencatatkan defsit di tahun lalu juga disebabkan oleh faktor global dan permintaan global yang melambat.
Presiden Jokowi Foto: Reuters/Beawiharta
ADVERTISEMENT
"Neraca perdagangan, ekspor kan sangat tergantung dengan kondisi global, jadi globalnya sendiri demand-nya atau permintaan globalnya melambat," ujar Yati di Gedung BI, Jakarta, Jumat (8/2). Nilai CAD yang sebesar USD 31,1 miliar di tahun lalu juga merupakan yang terparah sejak 2015 atau di era pemerintahan Jokowi. Namun demikian, defisit yang membesar ini sejalan dengan PDB yang juga meningkat. Pada 2015, nilai CAD sebesar USD 17,5 miliar atau 2,3 persen dari PDB; 2016 sebesar USD 16,3 miliar atau 1,75 persen dari PDB; dan 2017 sebesar USD 17,3 miliar atau 1,7 persen terhadap PDB. Selain neraca perdagangan, neraca jasa dan neraca pendapatan primer juga menjadi 'biang kerok' melebarnya CAD, masing-masing mencatatkan defisit sebesar USD 7,1 miliar dan USD 30,4 miliar. Sementara jasa pendapatan sekunder mencatatkan surplus USD 6,89 miliar. Dari sisi transaksi modal dan finansial memang mengalami surplus USD 25,2 miliar sepanjang tahun lalu, namun angka ini melambat jika dibandingkan 2017 yang mencapai USD 28,6 miliar. Transaksi modal selama tahun lalu surplus USD 93 juta, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya USD 46 juta. Sementara transaksi finansial surplus USD 25,1 miliar, melambat dari tahun sebelumnya yang sebesar USD 28,6 miliar. Melambatnya transaksi finansial ini lantaran investasi langsung maupun portofolio yang juga melambat sepanjang tahun lalu. Pada 2018, investasi langsung melambat jadi USD 13,8 miliar, sementara investasi portofolio melambat jadi USD 9,3 miliar. "Full year arus dana asing masuk USD 9,3 miliar, ini enggak signifikan kalau ke 2017, tapi ini karena di kuartal I, II, III karena ada outflow yang deras," tambahnya.
ADVERTISEMENT