Omnibus Law Cipta Kerja Dikritik Bertentangan dengan Prinsip Otonomi Daerah

24 Februari 2020 20:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi Media ‘Polemik RUU Cipta Kerja Di Sektor Pertambangan Minerba’ di Tjikini Lima, Jakarta, Senin (24/2). Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Media ‘Polemik RUU Cipta Kerja Di Sektor Pertambangan Minerba’ di Tjikini Lima, Jakarta, Senin (24/2). Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
ADVERTISEMENT
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP), Maryati Abdullah mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang bertentangan dengan prinsip otonomi daerah.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, Omnibus Law Cipta Kerja dinilai bakal mereduksi kewenangan pemerintah daerah. Sebab, kewenangan pusat akan makin mendominasi. Dengan kata lain, RUU Omnibus Law bertentangan dengan prinsip otonomi daerah untuk melakukan penguatan dan kemandirian daerah.
"Kalau persoalan yang ingin diselesaikan adalah pungli, izin yang overlapping, sumber daya manusia (SDM), pemda yang kurang (kompeten), data yang kurang, seharusnya pembagian izin perizinan itu dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang ketat. Bukan dihilangkan sama sekali (dengan Omnibus Law Cipta Kerja)," kata Maryati dalam diskusi Omnibus Law Ciptaker Sektor Pertambangan di Tjikini Lima, Jakarta, Senin (24/2).
Lebih lanjut, Maryati memandang nantinya hubungan pusat dan daerah justru bisa berdampak pada hal yang membahayakan. Misalnya saja, soal perizinan pertambangan yang ditarik ke pusat tanpa adanya kewenangan daerah sehingga melemahnya kontrol daerah.
ADVERTISEMENT
Ia mencontohkan, hal itu tercermin pada pasal 40 Ayat 3 RUU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 6 dan 7 dalam UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Sebelumnya, kedua pasal tersebut mengatur kewenangan pemerintah provinsi mengelola pertambangan minerba.
Massa buruh mengibarkan bendera saat berunjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (12/2). Foto: Raga Imam/kumparan
Maryati menambahkan, masalah lainnya yang akan timbul ialah dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu bisa kontradiktif terhadap peningkatan nilai tambah. Dalam pasal 40 Ayat 25 RUU misalnya, mengatur pelaku usaha batu bara yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan dapat dikecualikan dari kewajiban memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).
"Ada kewajiban melakukan peningkatan nilai tambah, akan tetapi dibebaskan dari DMO. Pertanyaannya kalau sudah wajib, kenapa dibebaskan dari DMO? Karena kalau wajib itu tak boleh ekspor dan tak ada gunanya dibebaskan dari kewajiban DMO," ujar Maryati.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ia pun juga mengkritik soal pengolahan dan pemanfaatan batu bara terintegrasi yang bisa dikenakan royalti nol persen pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja sektor pertambangan. Apabila penerimaan royalti nol persen, Maryati mempertanyakan darimana kah nantinya penerimaan negara didapat.
"Ini akan menggerus penerimaan negara dan berdampak ke daerah. Ini pekerjaan rumah, di Peraturan Presiden perlu diatur, (didetailkan)" ujarnya.