Pajak Naik, Sudah Waktunya Berpikir Lebih Kreatif!

16 Desember 2024 14:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi entrepreneur. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi entrepreneur. Foto: Shutterstock
Beberapa waktu lalu, pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyatakan akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik 12 persen per 1 Januari 2025.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan, kebijakan ini diterapkan untuk mengurangi penggunaan utang serta menjaga agar APBN tetap sehat.
Bila kenaikan disetujui, tarif PPN di Indonesia akan menjadi yang tertinggi di ASEAN bersanding dengan Filipina. Bahkan hanya selisih 1 persen dari PPN China.
Rencana kenaikan tarif PPN ini pun menjadi perbincangan yang menghebohkan masyarakat. Bahkan, Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Hadi Poernomo, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan rencana kenaikan PPN demi melindungi daya beli rakyat kecil dan mendorong pemerataan ekonomi.
Bukan tanpa alasan, pertumbuhan ekonomi saat ini Indonesia bisa dibilang sedang stagnan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada September lalu, Indonesia sempat mengalami deflasi 0,12 persen. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 sejak Mei lalu sebesar 0,03 persen month to month, Juni yang menyentuh 0,08 persen, Juli dengan 0,18 persen, dan Agustus yakni kembali ke level 0,03 persen secara bulanan.
Salah satu penyebab deflasi adalah menurunnya daya beli di masyarakat. Pengurangan permintaan barang dan jasa ini akhirnya memperlambat aktivitas ekonomi hingga pengurangan tenaga kerja untuk menekan biaya operasional.
Meski gelombang protes terus bermunculan, baik pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif masih saling lempar soal keputusan untuk melanjutkan atau membatalkan kebijakan tersebut. Sri Mulyani pun masih bungkam terkait rencana kenaikan PPN yang dijadwalkan berlaku pada awal tahun 2025.

Mengubah Keterpurukan Menjadi Peluang Menjanjikan

Ketidakpastian ekonomi saat ini tak pelak menimbulkan keresahan dan kebingungan. Tak hanya dari kalangan ahli, namun juga masyarakat. Termasuk dari pelaku UMKM seperti Ira (30).
“Aku rasain sendiri beberapa bulan belakangan kalau ekonomi kita tuh lagi “enggak sehat” banget. Banyak PHK, toko kecil sampai mal sepi pembeli, sekarang ditambah ada wacana pajak dinaikin. Aku sih keberatan ya, apalagi baru switch career dari karyawan jadi bisnis rumahan,” terang Ira.
Ya, ketidakstabilan ekonomi belakangan ini sempat mengguncang ekonominya secara drastis. Sebagai tulang punggung keluarga yang harus menghidupi kedua orang tuanya yang sudah pensiun sekaligus membantu biaya pendidikan adiknya, Ira harus menerima kenyataan terkena PHK pada Juli 2024 lalu dari sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
Padahal Ia telah bekerja selama 6 tahun sebagai karyawan tetap di perusahaan tersebut. Nyatanya, status tersebut tidak lantas membuatnya bebas dari risiko pemutusan hubungan kerja.
Tak dipungkiri, Ira sempat merasa terpuruk. Terlebih dengan tabungannya yang masih sangat terbatas dan hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari selama beberapa bulan ke depan.
Namun akhirnya ia sadar bahwa meratapi nasib tidak akan mengubah keadaan. Berbekal uang pesangon, Ira pun bangkit dan mencari peluang baru agar bisa tetap bisa menopang kebutuhan keluarga sekaligus membuatnya makin berkembang.
Perlahan tapi pasti, kini Ira tengah meniti karier baru sebagai seorang reseller makanan ringan. “Aku cobain yang aku bisa, sempet coba jadi driver ojol, buka PO kue, jadi affiliator, sampai sekarang lagi coba jadi reseller snack,” kata Ira.
“Produknya ini aku ambil dari tetangga yang kebetulan jualan makanan ringan dan oleh-oleh. Sambil buka peluang baru, aku juga ingin bantu tetangga yang selama ini jualannya hanya sebatas di lingkungan sekitar,” lanjutnya.
Ira pun menyadari bahwa pedagang kecil seperti tetangganya ini pun ikut terpukul akibat ketidakstabilan ekonomi. Terlebih, mereka hanya bisa memasarkan produknya di pasar terbatas karena masih awan terhadap konsep digital marketing. Selain menambah pemasukan, menjadi reseller merupakan caranya untuk membantu pelaku UMKM agar produknya dikenal lebih luas.
Ilustrasi perempuan karier. Foto: Shutterstock
Tidak langsung berpuas diri, Ira tetap mencoba peruntungan lain di dunia digital dengan menjadi freelancer menulis konten. Pekerjaannya sebagai seorang freelance dimanfaatkan Ira untuk mengasah potensinya di bidang menulis.
Sebab, Ira mengaku bahwa dulu dirinya hanya menganggap hobi menulis sebagai pengisi waktu luang di sela-sela istirahat bekerja. “Beberapa kali aku dapat job freelance untuk menulis artikel dari teman atau relasi, ternyata kalau ditekuni hasilnya lumayan banget,” ungkap Ira.
Kini, Ira mengatakan bahwa pendapatannya sudah bisa membantu menopang kebutuhan keluarga. Ia juga merasakan hikmah dari guncangan yang sempat dialami beberapa waktu lalu, yaitu pentingnya untuk lebih “melek” terhadap literasi keuangan.
Setiap pendapatan yang ia peroleh langsung dibagi menjadi beberapa pos, yaitu dana untuk kebutuhan bulanan, dana darurat, tabungan, hingga dana rekreasi. Dengan begitu, Ira dapat lebih siap menghadapi tantangan-tantangan yang mungkin akan kembali datang di masa depan.
Seperti Ira, Chief Marketing Officer Manulife Indonesia, Shierly Ge, mengungkapkan pentingnya mengelola emosi agar tetap tenang di tengah berbagai guncangan saat ini.
“Panik itu wajar, tapi kebijaksanaan ada di tangan yang tenang. Jangan biarkan ketidakpastian ekonomi membuat Anda cemas berlebihan dan mengaburkan visi finansial Anda. Seperti kata Morgan Housel, keputusan keuangan selalu dipengaruhi unsur psikologis,” kata Shierly.
Dalam menghadapi ekonomi sulit, tambah Shierly, dibutuhkan lebih dari sekadar strategi keuangan. Selain tetap tenang, kita tidak boleh melupakan nilai-nilai untuk tetap berbagi, bertumbuh, dan berdampak pada lingkungan sekitar.
Berbagi dapat memperkuat ikatan sosial yang akhirnya juga akan menumbuhkan rasa tenang karena dapat melalui tantangan bersama-sama. “Dengan saling membantu, kita menciptakan jaring pengaman bersama, baik melalui donasi, sedekah, atau mendukung ekonomi lokal. Berbagi juga mengingatkan kita bahwa kesejahteraan sejati bukan hanya soal materi, tapi kebersamaan,” jelas Shierly.
Lalu, manfaatkan masa sulit ini sebagai pemicu semangat untuk belajar dan bertumbuh lebih tangguh. Termasuk belajar menggali potensi, mengelola keuangan, serta utamakan mengalokasikan dana untuk hal-hal yang dapat memberikan manfaat jangka panjang seperti asuransi atau pendidikan.
Kemudian strategi yang tidak kalah penting adalah melakukan hal-hal yang dapat berdampak positif terhadap diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan. Misalnya, berbelanja dari toko di lingkungan sekitar untuk mendukung daya beli masyarakat serta memilih investasi agar lebih terlindungi secara finansial.
“Di masa sulit, nilai-nilai ini bukan hanya panduan moral, tapi juga strategi bertahan. Saat berbagi memperkuat, bertumbuh memperbaiki, dan berdampak memperluas manfaat, kita bukan sekadar bertahan, tapi juga memberdayakan diri dan orang lain,” pungkas Shierly.