Panen Sawit 6,72 Juta Ha Terancam Sia-sia, Petani Minta DMO-DPO Segera Dihapus

17 Juli 2022 20:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menilai kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), dan Flush Out (FO) tidak relevan lagi.
ADVERTISEMENT
Melihat harga Crude Palm Oil (CPO) Global yang cenderung turun pada 2 minggu terakhir ini, Gulat meminta agar pemerintah segera evaluasi tiga kebijakan itu.
Gulang membeberkan, stok CPO Indonesia per Awal Juli 12,4 juta ton. Jika konsumsi per bulan Juli ini 1,5 juta ton, berarti ada stok yang sangat berlimpah sebesar 10,9 juta ton. Normalnya stok dalam negeri 3-4 juta ton per bulan, berarti sudah 300 persen di atas normal.
"Jadi seharusnya regulasi DMO dan DPO harus segera dicabut, karena faktanya DMO dan DPO ini selalu masuk dalam faktor pengurang saat tender seperti di KPBN,” ujar Gulat kepada kumparan, Minggu (17/7).
Selain itu, menurut dia, adanya kebijakan FO tetap menjadi beban disaat perhitungan harga CPO Indonesia. Padahal menurut Gulat, berdasarkan regulasinya, kebijakan tersebut akan berakhir di akhir Juni kemarin. Namun, faktanya kebijakan ini masih tetap digunakan untuk pengurangan harga CPO di KPBN sampai dengan 15 Juli lalu.
ADVERTISEMENT
“Gawatnya harga KPBN ini menjadi rujukan harga TBS (tandan buah segar) petani sesuai Permentan nomor 1 tahun 2018, tentu wajar saja harga TBS kami semakin babak belur,” jelasnya.
Selain itu, Gulat juga mengungkapkan bahwa pemerintah sendiri tidak menggunakan harga dari KPBN saat menetapkan besaran bea keluar dan pungutan ekspor. Oleh karena itu Gulat mempertanyakan mengapa petani masih saja diminta untuk memakai harga KPBN.
“Aneh kan? Jawabannya supaya harga TBS kami dapat dibeli murah,” sambungnya.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung. Foto: Dok. Pribadi/Gulat Medali Emas Manurung
Lanjutnya Gulat mengatakan bahwa jika Indonesia menggunakan harga Referensi Kementerian Perdagangan dan berpegang teguh kepada regulasi bahwa baik DMO, DPO tidak berlaku lagi dan memerintahkan bahwa kebijakan FO per 1 Juli sudah tidak berlaku lagi maka beban CPO Indonesia hanyalah bea keluar.
ADVERTISEMENT
Sehingga dengan demikian menurut Gulat seharusnya harga TBS petani per tanggal 1 Juli 2022 hingga 16 Juli 2022 menjadi Rp 3.380 per kilogram. Dan pada tanggal 18 Juli 2022 nanti sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.05/2022 maka harga TBS petani akan berada di angka Rp 3.980 per kilogram.
Maka atas dasar tersebut, Gulat mengimbau agar saat ini pemerintah segera mencabut kebijakan DMO, DPO dan FO. Gulat juga mengingatkan bahwa pada bulan Agustus sampai Desember tahun ini diperkirakan akan terjadi panen tinggi TBS. Menurutnya jika pemerintah terlambat mengambil keputusan maka akan berakibat fatal secara nasional dan investasi 6,72 juta hektar petani sawit akan berguguran massal.
“Sekali lagi saya sampaikan, bahwa Indonesia berpacu dengan waktu, apalagi bulan Agustus sampai Desember diperkirakan akan terjadi panen tinggi TBS, terlambat ambil keputusan “ganti mobil” bisa berakibat fatal secara nasional dan investasi 6,72 juta hektar petani sawit akan berguguran massal. Kami level petani saja bisa berhitung dengan sedikit cermat,” terangnya.
ADVERTISEMENT