Pembangunan Smelter Feronikel Bakal Dibatasi, Ini Dampaknya

18 Januari 2023 10:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Smelter nikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM). Foto: PT Antam
zoom-in-whitePerbesar
Smelter nikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM). Foto: PT Antam
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah berencana akan membatasi pembangunan smelter nikel yang memproduksi feronikel dan nickel pig iron (NPI). Smelter tersebut hilirisasinya baru mencapai 40 persen.
ADVERTISEMENT
Adapun produk feronikel membutuhkan nikel kadar tinggi (saprolite). Smelter yang mengolah saprolite berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF), salah satunya milik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali yang saat ini tengah mendapat sorotan.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Djoko Widajatno, mengatakan cadangan saprolite terbatas sehingga smelter yang menghasilkan nikel kelas dua, feronikel dan NPI, perlu ditingkatkam hilirisasinya menjadi baja tahan karat yang memberikan peningkatan nilai tambah lebih besar.
Djoko menambahkan, dengan penambangan saprolite 210 juta ton per tahun, maka umur cadangannya di dalam negeri tinggal 15 tahun. Di sisi lain, umur operasional smelter lebih lama dari 15 tahun.
"Dampaknya harus impor bijih nikel, yang umumnya sudah dikuasai oleh China. Jika tidak memperoleh umpan maka smelter akan dihentikan akan mengalami kerugian," ujarnya kepada kumparan, Rabu (18/1).
ADVERTISEMENT
Dia meyakini bahwa pemerintah sudah mempertimbangkan segala aspek, sehingga dampaknya sudah diantisipasi. Dengan begitu, dia menilai kebijakan ini sangat tepat untuk diterapkan.
"Pengurangan smelter sesuai dengan amanat UU Minerba, tentu mempunyai dampak positif karena menjamin keseimbangan neraca cadangan nikel," tandasnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arrangga, berpendapat sama. Dia menjelaskan, hilirisasi harus bersifat end to end agar bisa memberikan multiplier effect yang besar.
"Dengan semakin besar presentasi dari produk smelter, maka potensi untuk membangun industri turunan di dalam negeri akan semakin besar tidak seperti saat ini, hilirisasi yang dihasilkan masih sangat minim dan harus dibawa ke luar," jelasnya.
Foto udara aktivitas pengolahan nikel (smelter) yang berada di Kawasan Industri Virtue Dragon Nickel Industrial (VDNI) di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara. Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Menurut dia, pembatasan smelter feronikel dan NPI akan berdampak pada peningkatan nilai investasi smelter di dalam negeri. Selain itu, optimalisasi pemanfaatan komoditas nikel juga akan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia mengaku akan melakukan pembatasan terhadap pembangunan smelter yang tidak memiliki orientasi pada green energy. Adapun pembatasan smelter ini untuk produk hilirisasi yang baru mencapai 40 persen.
Menurut Bahlil, pihaknya masih akan berdiskusi lebih lanjut mengenai pembatasan smelter, lantaran sejauh ini produk olahan nikel di Indonesia mayoritas hanya sebesar 30-40 persen atau produk feronikel dan NPI.
Untuk itu, Bahlil mendorong antara smelter yang mau dibangun dan bahan baku yang ada harus seimbang. Dia mendorong agar hilirisasi mampu mencapai 80 persen, salah satunya untuk kebutuhan baterai lithium kendaraan listrik.
"Harus seimbang antara smelter yang mau kita bangun dengan cadangan bahan baku yang ada. Nah, sekarang kita dorong sektor hilirisasi dengan nilai tambah hingga 80 persen," pungkas Bahlil.
ADVERTISEMENT