Pemerintah Berhemat dan Frugal Living Picu Perlambatan Ekonomi saat Nataru

12 Desember 2024 14:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tahun baru di Marina Bay Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahun baru di Marina Bay Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ekonomi Indonesia masih menghadapi permasalahan pelemahan daya beli, menurunnya jumlah masyarakat kelas menengah, serta kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menyebabkan timbulnya gerakan frugal living atau super hemat di masyarakat. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira melihat kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat menyebabkan ramainya gerakan frugal living ini.
Kekhawatiran ini seperti kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan dana pensiun wajib.
“Mungkin konteksnya melebihi isu PPN ya, misalnya kekhawatiran kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Tapera, dan dana pensiun wajib. Akibatnya konsumen melakukan perubahan perilaku dengan lebih berhemat,” kata Bhima kepada kumparan, Kamis (12/12).
Di tengah fenomena frugal living yang ramai di tengah-tengah masyarakat ini, Presiden Prabowo Subianto justru memberikan arahan pemerintah yang dipimpinnya untuk berhemat. Bhima melihat hal ini akan berdampak pada serapan belanja.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, di Hotel Mercure Sabang, Kamis (25/1/2023). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
"Yang sebenarnya punya risiko memperlambat serapan belanja juga. Selain itu beberapa sektor seperti perhotelan, transportasi dan MICE juga terdampak sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di kuartal IV 2024,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Dia memperkirakan peredaran uang kartal pada Nataru tahun ini tumbuh sekitar 6 persen menjadi Rp 138,19 triliun. “Pertumbuhan tahun ini lebih rendah dibanding tahun sebelumnya,” kata Bhima.
Bhima menyebut, langkah pemerintah menurunkan tiket pesawat juga tidak akan bisa meningkatkan minat wisata masyarakat secara signifikan. Sebab menurut dia, sebagian besar konsumen telah memesan tiket 1 sampai 3 bulan sebelum pengumuman tersebut.
Selain itu, Bhima memandang pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah dan persiapan kenaikan harga akibat kebijakan pajak dan tarif baru menjadi faktor yang mempengaruhi konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2024.
Masyarakat sudah mulai memenuhi Bundaran HI jelang detik-detik pergantian tahun, Minggu (31/12). Foto: Hedi/kumparan
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet juga memperkirakan pertumbuhan perputaran uang selama Nataru 2024 akan mengalami perlambatan dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun sebelumnya. Dia melihat pertumbuhannya hanya mencapai 5 persen secara tahunan.
ADVERTISEMENT
“Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan capaian pertumbuhan tahun lalu yang mencapai sekitar 6 persen karena kami memperkirakan aktivitas perekonomian tidak akan setinggi tahun lalu. Oleh karena itu, ini juga akan ikut mempengaruhi nilai perputaran uang di akhir tahun nanti,” kata Yusuf.
Secara nominal, perputaran uang pada Nataru tahun ini diperkirakan Yusuf berada di kisaran Rp 100-180 triliun. Namun, kontribusi momen Nataru terhadap perekonomian pada kuartal IV dinilai tidak sebesar tahun sebelumnya.
“Permasalahan daya beli masih akan terasa di akhir tahun ini, sehingga dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi juga tidak akan setinggi tahun lalu,” tutur Yusuf.
Sama-sama Berdampak pada Pertumbuhan Ekonomi
Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: Shutterstock
Selain pelemahan daya beli, gerakan penghematan juga ini bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, komponen konsumsi rumah tangga merupakan penyangga terbesar dalam struktur perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini diutarakan oleh Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Firman Mochtar. Sehingga Firman melihat komponen konsumsi rumah tangga ini harus dijaga pemerintah agar perekonomian tetap stabil.
Dari sisi moneter, BI akan terus mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga melalui kebijakan stabilitas rupiah hingga suku bunga.
"Struktur perekonomian, konsumsi 55 persen dari pertumbuhan ekonomi. Dari sisi sektoral, sektor apa yang didorong, bukan hanya pertumbuhannya, tapi inklusivitasnya. Upaya ini yang harus dilakukan," kata Firman.