Penerimaan Negara Bisa Tergerus Rp 5,6 T per Tahun dari Peredaran Rokok Ilegal

8 November 2024 15:23 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas Bea dan Cukai menunjukkan barang bukti rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) ilegal di kantor Bea dan Cukai Kudus, Jawa Tengah, Selasa (16/3/2021). Foto: Yusuf Nugroho/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Bea dan Cukai menunjukkan barang bukti rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) ilegal di kantor Bea dan Cukai Kudus, Jawa Tengah, Selasa (16/3/2021). Foto: Yusuf Nugroho/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE -FEB UB) menngungkapkan bahwa penerimaan negara bisa tergerus hingga Rp 5,6 triliun per tahun dari peredaran rokok ilegal.
ADVERTISEMENT
Direktur PPKE-FEB UB, Candra Fajri Ananda, menjelaskan peredaran rokok ilegal tersebut salah satunya akibat kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok yang tinggi. Adapun di tahun depan, pemerintah tak akan menaikkan kembali tarif CHT.
“Kenaikan tarif cukai yang tidak diimbangi dengan kemampuan daya beli masyarakat justru mendorong peningkatan peredaran rokok illegal,” ujar Candra dalam hasil kajian Membangun Sinergi Kebijakan Cukai dan Pemberantasan Rokok Ilegal sebagai Fondasi Penguatan Ekonomi Nasional, Jumat (8/11).
Candra juga mendorong adanya moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau. Menurutnya, jika tarif cukai ditujukan untuk mencapai keseimbangan pilar kebijakan IHT, maka tarif cukai sebesar 4-5 persen dari tarif yang berlaku saat ini, adalah tarif cukai yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan dalam mencapai keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT).
ADVERTISEMENT
“Kenaikan tarif di atas batas ini berisiko meningkatkan peredaran rokok ilegal karena konsumen beralih ke produk yang lebih murah dan tidak dikenai cukai,” jelasnya.
Selain itu, Candra juga memaparkan bahwa kenaikan tarif cukai berpengaruh negatif pada volume produksi rokok legal. Peningkatan harga membuat permintaan beralih ke produk ilegal, sehingga industri rokok mengalami penurunan kapasitas produksi.
"Akibatnya, lapangan kerja di sektor ini terancam, terutama bagi pabrik kecil yang tidak mampu bersaing di tengah tingginya tarif cukai dan menurunnya permintaan,” terang Candra.
Sebelumnya, Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan, mengatakan moratorium atau penundaan kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun mendatang untuk menekan peredaran rokok ilegal yang terus meningkat. Menurutnya, kenaikan cukai yang berlebihan menciptakan kondisi yang tidak stabil bagi industri dan menurunkan daya saing produk legal di pasar.
ADVERTISEMENT
Henry mengusulkan agar moratorium dilakukan selama tiga tahun, memberikan waktu bagi industri untuk beradaptasi dan memitigasi dampak negatif kenaikan tarif cukai.
“Pentingnya pendekatan yang adil dalam kebijakan cukai dan meminta peningkatan pengawasan terhadap produsen rokok ilegal yang terus berkembang pesat. Sebab, keberhasilan kebijakan cukai akan sangat bergantung pada koordinasi erat antara bea cukai, aparat penegak hukum, dan industri tembakau,” tambahnya.