Penerimaan Pajak Seret, Defisit APBN Melebar Jadi 2,2 Persen

19 November 2019 8:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan pers tentang realisasi APBN 2019 per akhir Oktober di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (18/11). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan pers tentang realisasi APBN 2019 per akhir Oktober di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (18/11). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penerimaan pajak sepanjang Januari-Oktober 2019 masih seret. Pemerintah berdalih penerimaan melempem karena kinerja korporasi turun akibat pelemahan ekonomi global dan domestik.
ADVERTISEMENT
Dari laporan APBN 2019, penerimaan pajak per Oktober 2019 mencapai Rp 1.018,47 triliun, hanya tumbuh 0,23 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Realisasi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan penerimaan pajak per Oktober 2018 yang mencapai 17,41 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penerimaan pajak lesu itu karena sejumlah faktor, mulai dari perang dagang antara Amerika Serikat dengan mitra dagangnya, masih adanya ketidakpastian Brexit, quantitative easing oleh European Central Bank (ECB), hingga krisis politik di Hong Kong.
Tekanan global tersebut memberikan dampak ke ekspor Indonesia. Nah, ekspor yang melemah ini, mengakibatkan penerimaan pajak di sektor-sektor unggulan ikut melempem.
Penerimaan pajak di sektor pertambangan bahkan turun 22,1 persen menjadi hanya Rp 47,39 triliun per Oktober 2019. Padahal per Oktober 2018, sektor ini mampu tumbuh hingga 66,5 persen.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sektor industri pengolahan juga turun 3,5 persen menjadi Rp 277,3 triliun per Oktober 2019. Padahal di Oktober 2018, sektor ini mampu tumbuh 12,3 persen.
Jika diakumulasikan, total penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp 605,9 triliun, tumbuh hanya 2,15 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal per Oktober 2018, pertumbuhan PPh bisa mencapai 17,96 persen.
Jika dirinci lebih lanjut, PPh nonmigas maupun migas sama-sama melempem. Penerimaan PPh nonmigas mencapai Rp 556,63 triliun atau tumbuh hanya 3,3 persen, melambat dibandingkan per Oktober 2018 yang mampu tumbuh hingga 17,03 persen.
Sementara PPh migas mencapai Rp 49,27 triliun, bahkan turun 9,27 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka ini anjlok dibandingkan Januari-Oktober 2018 yang bisa tumbuh 28,06 persen.
ADVERTISEMENT
Selain karena faktor global, penerimaan pajak yang loyo juga karena adanya pengembalian pajak (restitusi).
Berdasarkan catatan Kemenkeu, restitusi yang dibayarkan sampai dengan akhir Oktober 2019 mencapai Rp 133 triliun. Secara rinci, restitusi berasal dari pemeriksaan sebesar Rp 81 triliun, upaya hukum lewat keputusan pengadilan Rp 22,5 triliun, dan restitusi yang dipercepat Rp 29 triliun.
Dirjen Pajak Suryo Utomo menjelaskan, jika restitusi itu tidak dihitung, maka total penerimaan pajak sampai Oktober 2019 bisa tumbuh 2,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Terkait restitusi sampai Oktober, bahwa untuk penerimaan dari Januari-Oktober 2019 kita tumbuh di 2,9 persen, tapi teragregasi brutonya karena ada restitusi itu," kata Suryo dalam konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (18/11).
ADVERTISEMENT
Belanja Negara
Sementara dari sisi belanja, hingga Oktober 2019 belanja negara sebesar Rp 1.798 triliun atau baru 73,1 persen dari target APBN yang mencapai Rp 2.461,1 triliun.
Belanja negara itu hanya tumbuh 4,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, melambat dibandingkan pertumbuhan per Oktober 2018 yang mampu tumbuh 11,9 persen.
Jika dirinci lebih lanjut, belanja kementerian dan lembaga (K/L) mencapai Rp 633,5 triliun hingga akhir Oktober 2019, tumbuh hanya 8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dari belanja k/L tersebut, belanja modal tercatat sebagai kinerja terburuk. Realisasi belanja modal baru mencapai Rp 100,8 triliun atau 53,2 persen dari pagu yang ditetapkan Rp 189,3 triliun.
Belanja modal tercatat mengalami kontraksi alias tumbuh negatif 6,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal per Oktober 2018, belanja modal masih bisa tumbuh 1,2 persen.
ADVERTISEMENT
Menurut Sri Mulyani, eksekusi belanja modal lebih rendah akibat proses pembebasan lahan yang berjalan lebih lamban sepanjang tahun ini.
"Juga karena adanya penyelesaian lelang yang lebih rendah dari target atau efisiensi pemanfaatan sisa tender," ujar Sri Mulyani.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Askolani, mengaku masih optimistis penyerapan belanja modal hingga akhir tahun bisa mencapai 90 persen dari pagu, sama seperti capaian tahun lalu.
"Sekitar 1-2 persen di atas tahun lalu lah (penyerapan). Sebab sebenarnya belanja modal ini tinggal eksekusi, maksudnya hanya dokumentasi dan pelaporan membayar saja. Kegiatan fisiknya sebagian besar sudah jadi dan berjalan,” katanya.
Defisit Melebar
Realisasi defisit anggaran hingga akhir Oktober 2019 mencapai Rp 289,1 triliun atau 1,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
ADVERTISEMENT
Defisit ini melebar dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 229,7 triliun atau 1,56 persen terhadap PDB.
Hingga akhir tahun ini, pemerintah memprediksi defisit APBN 2019 mencapai 2,2 persen dari PDB, melebar dibandingkan perkiraan awal yang hanya 1,84 persen dari PDB.
Untuk mengantisipasi pelebaran defisit, pemerintah akan mengantisipasi dengan penarikan utang lebih lanjut. Namun untuk hal ini, pemerintah masih akan melihat kondisi pasar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan pers tentang realisasi APBN 2019 per akhir Oktober di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (18/11). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Selain utang, pemerintah juga masih memiliki Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) untuk mengatasi pelebaran defisit APBN. Sampai akhir Oktober 2019, posisi SILPA Rp 84,3 triliun.
Jika realisasi defisit APBN di akhir tahun diproyeksi menyentuh 2,2 persen dari PDB, dana SILPA tersebut akan dicairkan sehingga tidak akan tersisa.
ADVERTISEMENT
"Ya ancang-ancang kalau defisit sekitar 2,2 persen. Kita masih pantau APBN bulan ini dan bulan depan. Kalau defisit 2,2 persen, arahnya SILPA akan nol di akhir tahun," kata Askolani.
Hingga akhir Oktober 2019, utang baru pemerintah sebesar Rp 384,52 triliun, tumbuh 14,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sementara bunga utang yang telah dibayarkan pemerintah hingga akhir Oktober 2019 sebesar Rp 22064 triliun, mencapai 79,98 persen dari target dalam APBN 2019 yang sebesar Rp 275,89 triliun. Pembayaran bunga utang ini tumbuh 3,48 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Adapun total utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.756,13 triliun hingga akhir Oktober 2019. Angka ini naik 6,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 4.478,57 triliun.
ADVERTISEMENT
Rasio utang itu mencapai 29,87 persen terhadap PDB, melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 30,68 persen terhadap PDB.