Pengamat Beberkan Cara Agar Indonesia Tak Perlu Impor Beras Lagi

24 November 2024 12:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja menata beras di Gudang Bulog Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (22/2/2024). Foto: Budi Candra Setya/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja menata beras di Gudang Bulog Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (22/2/2024). Foto: Budi Candra Setya/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, membeberkan strategi untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Menurut catatannya tingkat konsumsi beras dalam negeri sekitar 31 juta ton per tahun. Sementara untuk beras cadangan, pemerintah idealnya mengalokasikan 10 persen dari total konsumsi.
"Itu berarti kita butuh sekitar 34 juta ton beras agar tidak perlu impor. karena jika produksinya pas dengan konsumsinya, tentu akan mengancam stabilitas [harga]," ujar Eliza dikutip Minggu (24/11).
Untuk mencapai target 34 juta ton beras, Eliza menyarankan strategi peningkatan produktivitas (intensifikasi) atau perluasan lahan (ekstensifikasi).
Eliza bilang, andaikata pemerintah memilih langkah ekstensifikasi, maka konsekuensinya bakal mengorbankan hutan. Bahkan kalau ditanam di lahan rawa, katanya, rata-rata produktivitasnya relatif rendah dari lahan sawah biasa.
"Sehingga perlu lebih luas lagi areal pertanaman dengan biaya yang relatif besar krna perlu berbagai treatment untuk pengkondisian lahan agar bisa ditanami (padi)," sebut Eliza.
ADVERTISEMENT
Secara rumus, Eliza menjelaskan, jika rata-rata produktivitas padi 5 ton per hektar dan indeks pertanaman (IP) di angka 1,5, maka luas lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi beras dalam negeri sekaligus cadangan hingga 34 juta ton beras mestinya cukup dengan luas lahan pertanian sebesar 9,07 juta hektar.
"Bisa saja aslinya IP Indonesia lebih rendah dari itu karena jika mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan luasan 10,2 juta hektar saja produksi padi kita hanya sekitar 31 juta ton beras," cakapnya.
Petani mengangkut padi hasil panen yang menggunakan mesin potong modern di areal persawahan Indrapuri, Aceh Besar, Aceh. Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Tetapi menurut Eliza, kondisi riil di lapangan kini banyak sawah yang semakin menurun kualitasnya akibat dampak pembangunan konversi sawah yang merusak jaringan irigasi secara sistemik, mencemari areal sawah, meningkatkan hama dan penyakit, serta kurangnya penerapan praktik pertanian berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
"Peningkatan produktivitas ini ya dengan intensifikasi menggunakan varietas benih unggul yang tinggi produktivitas, tahan hama penyakit dan tahan terhadap dampak perubahan iklim," imbuh Eliza.
Sementara, kata dia, IP bisa dilakukan dengan membangun dan merevitalisasi irigasi yang sudah rusak berat dan terlalu lama dibiarkan tanpa perhatian yang memadai. Eliza mencatat, banyak sawah tadah hujan yang belum dibangun irigasinya.
Guna mempermulus intensifikasi, terdapat ragam varietas lokal yang bisa memproduksi padi hingga 12 ton per hektar, diatas rata rata produktivitas padi nasional 5 ton per hektar.
"termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) sekalipun tanpa perlu mengorbankan lahan hutan yang tersisa," tutupnya.
Dalam catatan kumparan tahap awal swasembada pangan akan berfokus pada beras terlebih dahulu. Selanjutnya ada jagung dan beberapa komoditas lain satu per satu. Amran menilai beras merupakan komoditas utama. Menurutnya, jika swasembada beras bermasalah, maka kondisi pangan negara bisa bermasalah.
ADVERTISEMENT