news-card-video
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

Pengamat Sebut Kelangkaan Beras di Ritel Modern Bisa Berlanjut di 2025

2 Maret 2025 19:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Palebon, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (26/2/2025). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Dua pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Palebon, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (26/2/2025). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Indonesia diproyeksi akan kembali mengalami kelangkaan beras di ritel-ritel modern pada 2025. Hal serupa pernah terjadi pada awal tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Khudori melihat adanya kemungkinan ritel modern enggan menjual beras pada tahun ini.
Hal ini dikarenakan ritel modern harus tunduk terhadap aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, yaitu beras medium Rp 12.500 per kg dan beras premium Rp 14.900 per kg. Sehingga, nantinya penjualan beras akan lebih banyak di pasar tradisional yang dianggap tidak terikat dengan HET.
“Iya kemungkinan (ada kelangkaan beras di ritel modern) seperti tahun lalu Februari, Maret, April, itu hilang beras-beras berbagai merek. Itu karena mirip dengan ini, problemnya sama, mereka tidak mungkin menjual di ritel modern, kalau dia memaksakan menjual di sana, rugi,” kata Khudori kepada kumparan, Minggu (2/3).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Khudori menjelaskan pedagang saat ini dihadapkan dengan dua pilihan, menjual beras sesuai dengan HET yang telah ditetapkan namun kualitasnya diturunkan atau menjual beras di pasar tradisional dengan harga di atas HET.
Biang keroknya adalah tingginya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen (GKP) yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Rp 6.500 per kg tanpa ada spesifikasi kualitas.
Aturan ini tertuang pada Keputusan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 14 Tahun 2025 yang mengubah Keputusan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2025.
Terlebih menurut dia, aturan ini juga harus diterapkan oleh sektor swasta. "Itu semua, walaupun ini berlaku buat Bulog sebetulnya, tapi dalam praktik ini kan omongan Pak Menko Pangan, omongan Menteri Pertanian, omongan Satgas pangan, swasta kalau nggak membeli (gabah) Rp 6.500 bisa diperiksa kan gitu kan,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Dia kemudian menjelaskan untuk diolah menjadi beras, gabah masih harus melewati berbagai proses seperti penggilingan. Setelah itu persentase rendemen dari gabah tersebut baru akan diketahui.
“Kalau rendemen gabah diolah menjadi beras itu 50 persen ya, untuk membuat beras 1 kg itu butuh gabah 2 kg, dikali Rp 6.500 berarti harga bahan baku saja itu sudah Rp 13.000 (per kg),” terangnya.
Angka ini belum ditambah dengan ongkos produksi lainnya seperti kemasan, tenaga kerja ongkos pengangkutan dan lain-lain. Sehingga harga gabah Rp 6.500 per kg dengan HET beras medium Rp 12.500 per kg membuat penggilingan dan pedagang tidak mendapatkan margin atau bahkan merugi.
Khudori melihat seharusnya pemerintah mengerek HPP gabah sekaligus HET dari hasil akhir produk tersebut yaitu beras. Sebab HET beras premium maupun medium saat ini masih merupakan HET yang ditetapkan pada tahun lalu.
ADVERTISEMENT
“Kalau pemerintah masih ingin ada HET, ya harus disesuaikan karena harga bahan baku naik. Hasil dari olahan bahan baku pasti membuat barang jadinya ini ya beras itu naik, atau kalau mau jangan usaha HET, nggak ada HET. Kalau mau ya,” jelas Khudori.
Senada dengan Khudori, Guru Besar Pertanian IPB Prof. Dwi Andreas Santosa juga melihat adanya kemungkinan pada 2025 ini akan terjadi kelangkaan beras di pasaran.
Hal ini dikarenakan rendahnya margin yang didapat oleh penggiling dan pedagang dengan adanya kenaikan HPP gabah menjadi Rp 6.500 per kg untuk semua kualitas gabah ini, akan menimbulkan kerugian. Sehingga, nantinya banyak penggiling yang menurunkan produksinya atau bahkan memilih tidak lagi beroperasi.
“Ya bisa lah (kelangkaan) kalau misalnya penggilingan-penggilingan pada mogok nggak mau nerima (gabah dari petani),” kata Dwi Andreas kepada kumparan.
Petugas mengecek gabah yang dikeringkan di Sentra Penggilingan Padi (SPP) Bulog di Karawang, Jawa Barat, Senin (20/5/2024). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Pada akhirnya, lanjut Khudori, kenaikan HPP gabah untuk semua kualitas yang ditujukan agar meningkatkan kesejahteraan petani justru akan membuat petani merugi. Terlebih menurut dia sektor swasta memegang lebih dari 93 persen penyerapan hasil produksi petani.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, dengan besarnya kontribusi penggilingan swasta dalam penyerapan hasil produksi petani, membuat pemerintah harus hati-hati untuk menekan kebijakan yang berkaitan dengan hal ini.
“Pada akhirnya kan petani lagi yang rugi, kalau misalnya penggilingan memutuskan tutup aja gitu. Kalau penggilingan padi tuh menurunkan produksinya 10-20 persen juga guncang di Indonesia. Itu yang perlu hati-hati pemerintah,” tutur Dwi Andreas.
Dia melihat, seharusnya pemerintah tidak perlu menerapkan HET beras medium. Namun justru seharusnya menerapkan Harga Acuan Pemerintah (HAP), yaitu untuk Bulog sebagai perusahaan pelat merah. Sebab, kehadiran tangan Bulog dalam hal ini adalah untuk menstabilkan harga di pasaran.
“Sebenarnya sih ketentuan HET yang nggak perlu diterapkan lah. HET itu nggak masuk akal. HET itu di HAP saja lah, harga acuan pemerintah. Kalau itu diberlakukan semuanya, banyak nanti penggilingan padi tutup. (Gabah) di harga Rp 6.500 bagaimana logikanya dijual Rp12.500,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya Pedagang beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan HET beras. Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang, Zulkifli, menilai kebijakan HET yang berlaku saat ini tidak realistis dan memberatkan pedagang.
Pemerintah mengatur HET beras berdasarkan wilayah. Untuk wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan, HET beras medium Rp 12.500 per kilogram dan HET beras premium Rp 14.900 per kilogram.
Zulkifli menjelaskan harga beras di tingkat petani sudah tinggi. Sementara biaya distribusi dari daerah ke pasar induk juga meningkat. Sebagai contoh, ia membeli beras dari Lampung seharga Rp 12.900 per kilogram. Namun, ketika sampai di Pasar Induk Cipinang, biaya transportasi menambah Rp 200 per kilogram, sehingga harga pokoknya menjadi Rp 13.100 per kilogram.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, pedagang membutuhkan margin keuntungan minimal Rp 100-Rp 200 per kilogram. Akibatnya, harga jual beras di pasar induk mencapai Rp 13.500 per kilogram, lebih tinggi di atas HET yang ditetapkan pemerintah.
Dalam catatan kumparan, pada Februari 2024 lalu sempat terjadi kelangkaan pasokan beras di ritel modern. Hal ini membuat ritel membatasi pembelian beras hanya 5 kg per orang atau 10 kg per orang.