Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Penghapusan Sistem Kerja Outsourcing Perlu Dilakukan Bertahap
4 Mei 2025 13:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana untuk menghapus sistem kerja outsourcing. Meski begitu hal ini dinilai bisa menimbulkan gejolak di industri jika pendekatan yang digunakan tidak tepat.
ADVERTISEMENT
Ekonom dari CORE Yusuf Rendy Manilet menilai selama ini digunakan sebagai mekanisme fleksibilitas oleh banyak sektor industri, terutama yang padat karya seperti manufaktur, logistik, dan perhotelan. Maka dari itu penghapusan outsourcing menurutnya harus menggunakan langkah tepat agar industri tidak bergejolak.
“Implementasinya memerlukan pendekatan bertahap dan berbasis data agar tidak menimbulkan gejolak di sektor industri maupun pasar kerja secara umum,” kata Yusuf kepada kumparan, Minggu (4/5).
Yusuf melihat di berbagai sektor selama ini outsourcing lebih banyak digunakan untuk pekerjaan non-core, seperti keamanan, kebersihan, atau administrasi. Maka dari itu penghapusan total skema outsourcing tanpa pembedaan jenis pekerjaan atau tanpa roadmap atau peta jalan memiliki risiko menimbulkan disinsentif atau pengurangan terhadap investasi, terutama bagi pelaku usaha berskala menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
“Karena itu, pendekatan yang lebih moderat adalah dengan memperjelas batasan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan, sekaligus memperketat standar perlindungan bagi pekerja outsourcing,” lanjut Yusuf.
Ia menyarankan agar ke depan pemerintah dapat memperkuat kepatuhan pengusaha kepada peraturan pemerintah yang relevan dan membatasi jenis pekerjaan outsourcing. Selain itu, pemerintah harus mendorong adanya perjanjian kerja yang layak dengan pengawasan yang juga ditingkatkan. Keberadaan transparansi kontrak juga dinilai harus menjadi fokus.
“Pemerintah perlu menyiapkan skema transisi, misalnya melalui pelatihan ulang tenaga kerja, insentif bagi perusahaan yang mengalihkan status pekerja outsourcing menjadi pekerja tetap, serta harmonisasi dengan kebijakan investasi dan produktivitas nasional,” kata Yusuf.
Lebih lanjut menurutnya penghapusan outsourcing tidak cukup untuk hanya dijadikan sebagai keputusan politik. Hal ini harus diperkuat lewat roadmap teknis yang menjamin hak-hak buruh tanpa mengorbankan keberlanjutan usaha.
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini, pengamat ketenagakerjaan dari Policy Research Center (Porec) Arif Novianto melihat sistem outsourcing bukan hanya menjadi mekanisme fleksibilitas untuk industri dalam keberlanjutan usaha melainkan sudah menjadi strategi untuk memutus hubungan kerja langsung, menekan upah, dan menghindari tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pekerja.
“Maka, langkah menghapusnya akan berhadapan langsung dengan struktur hukum, kepentingan modal, dan ideologi pasar bebas yang sudah mengakar dalam kebijakan ketenagakerjaan negara,” kata Arif.
Ia tak menutup kemungkinan tentang adanya resistensi atau gejolak yang kuat dari industri terkait rencana ini.
“Mereka akan mengeklaim bahwa penghapusan outsourcing mengganggu iklim investasi, meningkatkan beban produksi, dan mengurangi daya saing global. Tapi sesungguhnya, narasi itu adalah upaya melanggengkan kerentanan terhadap buruh,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Arif saat ini sektor padat karya seperti tekstil, garmen, elektronik, serta sektor jasa seperti perbankan, logistik, dan energi merupakan pengguna outsourcing terbesar. Masalahnya di sektor-sektor tersebut outsourcing tidak hanya digunakan untuk pekerjaan penunjang seperti keamanan dan kebersihan melainkan dalam pekerjaan inti seperti untuk segmen produksi dan teknisi.