Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Penjelasan BPS soal Hitungan Garis Kemiskinan RI Berbeda dengan Data Bank Dunia
2 Mei 2025 10:14 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan perbedaan hitungan angka kemiskinan yang dirilis World Bank atau Bank Dunia dengan perhitungan dari BPS.
ADVERTISEMENT
Pada awal April 2025, Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan sepanjang 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Di sisi lain, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Unit Kerja Kepala Statistik Bidang Media dan Komunikasi (UKK Media) BPS, Eko Rahmadian, mengatakan perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar. Nmaun penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan.
"Perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda," kata Eko melalui keterangan tertulis, Jumat (2/5).
ADVERTISEMENT
Eko menuturkan Bank Dunia memiliki 3 pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, yaitu international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem USD 2,15 per kapita per hari, USD 3,65 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income), dan USD 6,85 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).
Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam USD PPP atau purchasing power parity, yakni metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dolar yang digunakan bukan kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. USD 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp 5.993,03.
Sedangkan, kata Eko, angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3 persen, diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan dengan menggunakan standar sebesar USD 6,85 PPP yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.
ADVERTISEMENT
Bank Dunia juga menyarankan agar tiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) masing-masing yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.
Meski Indonesia saat ini berada dalam klasifikasi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar USD 4.870 pada tahun 2023, tetapi perlu diperhatikan bawah posisi Indonesia baru naik kelas ke kategori UMIC dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara USD 4.516- USD 14.005.
"Sehingga, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi," sebut Eko.
Eko menuturkan, BPS mengukur kemiskinan di RI dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia.
"Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi," lanjut dia.
Selain itu, garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat.
Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun. Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada bulan September dengan cakupan 76.310 rumah tangga.
ADVERTISEMENT
"Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif," ungkap Eko.
Untuk itu, menurut Eko, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan.
Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp 595.242 per bulan. Namun, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang, rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional ialah Rp 2.803.590 per bulan.
"Garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Eko mewanti perlu kehati-hatian dalam membaca angka garis kemiskinan. Sebab, garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan.
Secara mikro, angka ini tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran orang per orang. Contohnya, di Jakarta, garis kemiskinan per kapita pada September 2024 adalah Rp 846.085 per bulan. Jika ada satu rumah tangga dengan lima anggota (ayah, ibu, dan tiga balita) maka tidak tepat jika diasumsikan bahwa kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita.
Karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat ialah melihat garis kemiskinan rumah tangga. Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp 4.230.425 per bulan. Angka ini lah yang lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut.
ADVERTISEMENT
"Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang, dan bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji 20 ribu/hari bukan orang miskin," terang Eko.
Eko menegaskan penduduk yang berada di atas garis kemiskinan (GK) belum tentu otomatis tergolong sejahtera atau kaya. Di atas kelompok miskin, terdapat kelompok rentan miskin (1,0-1,5 x GK), kelompok menuju kelas menengah (1,5-3,5 GK), kelas menengah (3,5-17 x GK), dan kelas atas (17 x GK).
Kondisi September 2024, persentase kelompok miskin sebesar 8,57 persen (24,06 juta jiwa), kelompok rentan miskin adalah 24,42 persen (68,51 juta jiwa), kelompok menuju kelas menengah 49,29 persen (138,31 juta jiwa), kelas menengah 17,25 persen (48,41 juta jiwa), dan kelas atas 0,46 persen (1,29 juta jiwa).
ADVERTISEMENT