Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Keberadaan batik di Indonesia terbilang abadi, sebagaimana kerajaan-kerajaan zaman dulu yang memiliki kekuatan. Bahkan, di era modern, eksistensi batik sebagai warisan dunia dari Indonesia semakin kuat dibuktikan dengan pengakuan dari UNESCO pada 2009 lalu.
ADVERTISEMENT
Tapi umur panjang batik Indonesia juga dihiasi berbagai tantangan. Salah satunya adalah menjaga batik dengan pewarna alami dari gempuran warna-warna sintetis berbahan kimia.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Warna Alam Indonesia (Warlami), Suroso, mengatakan jika saat ini banyak batik di Indonesia yang diproduksi menggunakan warna-warna sintetis yang diimpor dari China, sebenarnya bukan hal baru.
Menurut catatan Warlami, pewarna buatan tersebut sudah masuk Indonesia sejak tahun 1856. Kala itu, warna-warna tersebut dibawa dan diperkenalkan oleh Williem Henry Perkin, bangsa Belanda yang menjajah Indonesia.
Periode tersebut menjadi awal mula pengrajin batik Indonesia era tersebut meninggalkan perwarna alami yang berasal dari daun pepohonan dan ranting kering.
"Sementara sebelum periode 1856, jauh sebelum itu kita sudah gunakan pewarna alam untuk batik di mana pengrajin itu tinggal. Misalnya tanaman indigo atau tarum ini," kata Suroso kepada kumparan di Istana Mangkunegara, Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (2/10) sore.
ADVERTISEMENT
Tanaman indigo ini, daunnya difermentasi untuk menghasilkan warna biru yang kalem. Selain indigo, tanaman lain yang digunakan untuk pewarna alam untuk batik adalah ranting dari batang pohon jambal dan tinggi. Ranting keringnya bisa menghasilkan warna coklat dan merah bata.
Diakui Suroso, warna-warna sintetis memang memiliki keunggulan dari tingkat kecerahannya yang kuat. Cukup 2-3 kali kain dicelup, warna yang pekat sudah kelihatan. Sementara warna alam perlu hingga 20 kali celupan untuk menghasilkan warna pekat yang diinginkan.
"Belum lagi benang itu kita hampir seluruhnya impor, pewarnanya itu impor juga dari China dan Jerman. Jadi pewarna batik kita yang meriah itu hampir semuanya dari pewarna impor," ucapnya.
Meski cepat menghasilkan warna yang pekat, tapi bahaya yang ditimbulkan adalah pencemaran lingkungan. Karena itu, pada 1995, penggunaan warna sintetis gugus AZO yang bisa menyebabkan penyakit kanker dilarang. Pelarangan itu ditetapkan dalam Konferensi Geneva dan diteruskan juga dalam surat kedutaan besar Belanda bidang perdagangan internasional.
Berusaha Bangkit
ADVERTISEMENT
Nyatanya warna sintetis yang ada di Indonesia tetap ada. Apalagi saat ini produksi batik dengan mesin yang semakin masif membuat kebutuhan pewarna buatan berbahan kimia ini meningkat.
Tapi, Warlami tetap berusaha agar pewarnaan batik dengan bahan alam bisa bertahan. Bahkan isu eco green dan eco fashion yang saat ini digaungkan banyak pihak menjadi peluang yang dimanfaatkan untuk mendorong penggunaan warna alam pada batik Indonesia.
"Di Warlami ini ada tiga concern, pertama konservasi budaya, lingkungan, pemberdayaan ekonomi. Konservasi budaya itu ya namanya kerajinan kain tradisional itu selain motif dan budayanya itu juga pakai warna alam. Di lingkungan, kita memang enggak pakai bahan sintetis yang ada kimianya," kata dia.
Diakui Suroso, pengembangan dari bahan pewarna alami mulai dilakukan. Untuk pohon indigo misalnya, sudah mulai diproduksi dalam bentuk pasta dan bubuk.
ADVERTISEMENT
Untuk budidaya tanamannya pun sudah makin banyak. Di beberapa daerah seperti Temanggung, Kabupaten Semarang, Solo, dan Jogjakarta luasan lahannya mencapai 15-30 hektare.
Meski begitu, diakui Suroso, Warlami belum punya angka pasti untuk produksi hulu dan hilir dari pewarna alami ini.
"Memang belum banyak karena permintaan belum luas. Kalau pasta itu cukup banyak. Angka pastinya belum ada, tapi kalau ada yang minta sebulan minta 1-2 ton itu sudah siap supply. Tapi itu skala industri kecil menengah ya," jelas dia.
Dari sisi harga, umumnya pasta indigo dijual Rp 75 ribu hingga Rp 90 ribu per kg. Sementara kulit batang pohon jambal dan tinggi di kisaran Rp 20 ribu hingga Rp 45 ribu per kg.
ADVERTISEMENT
Untuk pasar ekspor, kata Suroso, memang belum banyak dilakukan. Tapi beberapa negara seperti Jepang dan Amerika Serikat tercatat pernah meminta untuk dikirimi bahan-bahan alami ini.
Suroso mengaku pemerintah, terutama dari Kementerian Perindustrian selama ini ikut membantu Warlami mengenalkan warna-warna alami ini dalam berbagai kesempatan pameran. Pun dengan kementerian lain yang berkaitan.
"Kami berharap bisa lebih besar lagi dan perlu ada sinkronisasi antar kementerian. Kami didukung enggak cuma dengan Kemenperin tapi juga kementerian lain cuma kami lihat masih perlu komprehensif," tutur dia.