Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
“... Pihak Kedua wajib bekerja pada Perusahaan Pihak Pertama selama 18 (delapan belas) tahun…”
Begitulah bunyi salah satu pasal kontrak kerja Lion Air Group dan para pilotnya. Memang, tak semua calon pilot ditawari kontrak 18 tahun. Ada yang hanya 15 tahun, atau bahkan 22 tahun. Masalahnya, lama waktu kontrak tak serta-merta membuat para pilot Lion menjadi pegawai tetap. Mereka terus menjadi pegawai kontrak yang terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Kontrak tersebut dianggap menciptakan ketimpangan begitu lebar antara perusahaan (manajemen Lion Air Group) selaku Pihak Pertama yang mempekerjakan, dengan karyawan (pilot Lion) sebagai Pihak Kedua yang dipekerjakan.
Para pilot tidak dapat mengundurkan diri, dan jelas tidak boleh melanggar aturan yang bisa membuatnya dikeluarkan oleh perusahaan. Bila seorang pilot sampai melakukan salah satu atau keduanya, ia akan terkena sanksi denda atau penalti miliaran rupiah—nominal yang disebut-sebut tak jelas benar dasar perhitungannya.
Di sisi lain, perusahaan bisa kapan saja memecat si pilot tanpa terbebani kewajiban apa pun seperti membayar uang pesangon. Ini karena status pilot tersebut hanya pegawai kontrak, dan bukan pegawai tetap.
Kontrak kerja yang dinilai banyak pihak tak adil itu mencuat usai kasus bunuh diri kopilot Wings Air—anak usaha Lion Air Group, Nicolaus Anjar Aji Suryo. Tragedi itu diduga ikut dipicu surat PHK dan denda Rp 7 miliar yang dikirim Lion Air Group ke rumah orang tua Nicolaus di Solo.
Namun Managing Director Lion Air Group, Daniel Putut, menyatakan tegas bahwa apa pun perbuatan Nicolaus bukanlah tanggung jawab perusahaan, sebab dia sudah bukan karyawan Lion Air Group. Semua kontrak kerja di Lion Group, imbuhnya, sudah sesuai aturan ketenagakerjaan.
“Memang (soal denda) tersurat dalam kontrak yang sudah disepakati kedua belah pihak. Jadi angka tersebut sebetulnya supaya calon karyawan bersedia bekerja selama masa yang ditentukan. Saya bisa bilang masa kontraknya 18 tahun,” kata Daniel usai rapat dengan Komisi V di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (25/11).
Masa kontrak atau PKWT 18 tahun sesungguhnya tak sesuai aturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 59 ayat 3 UU tersebut, PKWT hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun, dengan satu kali perpanjangan untuk jangka waktu setahun.
Aturan tersebut bahkan diperkuat dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pasal 3 ayat 2 Kepmenakertrans tersebut mengatur bahwa PKWT hanya dibuat untuk durasi maksimal tiga tahun—dua tahun plus satu tahun perpanjangan.
Lebih jauh dari itu, PKWT berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Artinya, pegawai terkait menjadi karyawan tetap.
Hal lain yang patut diperhatikan, ujar seorang pilot senior, profesi pilot semestinya tidak masuk jenis pekerjaan yang menggunakan sistem PKWT atau kontrak.
Sebab, sesuai Pasal 59 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, PKWT hanya dapat diterapkan untuk empat jenis pekerjaan, yakni pekerjaan sementara yang sekali garap selesai, pekerjaan dengan jangka waktu penyelesaian tidak terlalu lama atau paling lama tiga tahun, pekerjaan musiman, dan pekerjaan terkait produk atau kegiatan baru yang masih dalam taraf penjajakan.
“Sementara pilot itu kan pekerjaan yang terus-menerus atau sepanjang waktu, bukan musiman. Jadi tidak boleh masuk sistem PKWT,” ujarnya.
Pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Indonesia Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, SH, MH menilai kontrak kerja Lion Air Group dengan para pilotnya telah menyalahi aturan dan seharusnya batal demi hukum.
Para pilot itu, ujar Guru Besar Hukum Perburuhan dan mantan Ketua Umum Asosiasi Arbiter Ketenagakerjaan Indonesia itu, seharusnya diangkat pegawai tetap dan mendapat pesangon jika mengalami PHK dari perusahaan.
Deret aturan di atas ditegaskan kembali oleh Aloysius Uwiyono dalam perbincangan dengan kumparan di kantornya, PAK Law Firm, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (28/11):
Kontrak kerja pilot di Lion Air Group menerapkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) selama 15-20 tahun. Apakah hal itu sesuai aturan?
Kontrak kerja tersebut melanggar ketentuan, karena ketentuan PKWT adalah maksimal dua tahun untuk kontrak yang pertama kali, lalu boleh diperpanjang satu tahun. Berarti total tiga tahun. Bisa diperbaharui dua tahun lagi dengan jeda satu bulan, sehingga total maksimal lima tahun.
Nah, PKWT itu berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu. Tidak semua pekerjaan dapat dikontrak. Pekerjaan-pekerjaan tertentu itu misalnya yang bersifat musiman. Dikontrak misalnya berapa bulan, berapa tahun, sesuai dengan musimnya.
Juga untuk pekerjaan yang bisa selesai dalam jangka waktu tertentu. Berikutnya pekerjaan yang sifatnya masih dalam masa percobaan—memiliki kemungkinan gagal atau lolos. Kalau gagal berarti pekerjaan selesai, tapi kalau lolos kemudian pekerjaan diperpanjang, kontrak kerja berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau pegawai tetap.
Nah, kalau pilot itu pekerjaan yang bersifat tetap dan terus-menerus. Tidak berdasarkan musiman, tidak berdasarkan jangka waktu tertentu yang pendek tiga tahun. Bukan juga pekerjaan-pekerjaan yang dalam masa percobaan. Oleh karena itu harus diikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) alias pegawai tetap.
Kalau terjadi pelanggaran—ada pekerjaan yang bersifat tetap dan terus-menerus tapi dikontrak seperti yang terjadi pada pilot Lion Air Group, maka perjanjian itu berubah menjadi PKWTT. Yang awalnya dikontrak, kontrak itu menjadi batal demi hukum. Berubah menjadi PKWTT, sehingga status pilot itu menjadi pegawai tetap.
Misalnya sudah bekerja lima tahun, tapi statusnya PKWT, lalu kontrak diperbarui 10 tahun lagi dan statusnya tetap PKWT, itu bagaimana status hukumnya?
Itu melanggar kontrak, dong. Melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan. Akibatnya, (yang mestinya terjadi kemudian) bukan pemutusan kerja, tapi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) karyawan itu berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dari pegawai kontrak ke pegawai tetap.
Menurut Lion Air Group, kontrak kerja hingga 20 tahun itu sudah sesuai kesepakatan kedua belah pihak—perusahaan dan pilot/karyawan.
Jadi, kalau ada kontrak yang melanggar ketentuan UU Ketenagakerjaan, itu batal demi hukum. Artinya, penjanjian kerja itu menjadi tidak berlaku sejak semula ditandatangani. (Alih-alih Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), yang berlaku adalah Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. Status hukumnya begitu meski pilotnya setuju atau tidak mengetahui ketentuan dalam pasal UU Ketenagakerjaan itu.
Maka apakah Lion Air Group mestinya mendapat sanksi?
Sanksinya ya (kontrak PKWT) itu batal demi hukum. Status karyawan (pilot) berubah menjadi pegawai tetap.
Itu harus minta pernyataan dari hakim. Jadi dikasuskan. Hakim akan menentukan kontrak pilot Lion menjadi PKWTT, dan memaksa (manajemen Lion) agar itu dilakukan dan harus dipatuhi.
Jadi pilot bisa menggugat balik?
Bisa.
Menurut Anda, apakah denda atau penalti Rp 7 miliar untuk pilot Lion Air Group yang berstatus kontrak PKWT itu masuk akal?
Harusnya penalti pada pekerja tidak boleh lebih dari 25 persen gaji per bulan. Kalau Rp 7 miliar itu diambil dari potong gaji, kan nggak mungkin. Dari mana dia dapat uang sebanyak itu.
Karenanya (dalam kasus penalti terlampau semacam itu), hubungan antara pekerja dan pengusaha bersifat subordinasi atasan dan bawahan. Tidak sebanding atau sederajat, alias jomplang. Pekerja lebih lemah daripada pengusaha yang kuat sosial ekonominya.
Nyatanya pelanggaran soal status pekerja itu belum berhenti. Keuntungan apa yang diperoleh perusahaan dari perbedaan status antara pegawai kontrak dan pegawai tetap tersebut?
Bila sepuluh tahun dikontrak terus, akhirnya kalau di-PHK ya tanpa pesangon. Jadi pengusaha menghindari ketentuan PKWTT agar bisa tidak membayar pesangon kalau mem-PHK karyawan.
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah terkait kontrak kerja pilot Lion Air Group yang tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan itu?
Tentunya harus disesuaikan dengan UU, sebab pilot itu pekerja. Artinya, ia bekerja karena ada hubungan kerja—berarti ada upah, ada pekerjaan, dan ada perintah. Pilot diperintahkan perusahaan untuk mengemudikan pesawat dan mendapatkan upah atasnya.
Sehingga kalau ada tiga unsur itu (upah, pekerjaan, dan perintah), maka hubungannya secara hukum berlaku ketentuan UU Ketenagakerjaan. Kecuali kayak Gojek, (pengemudi) itu bukan pekerja. Itu partnership antara pemilik aplikasi dengan tukang ojek, sebab driver-nya memiliki kendaraan sendiri.
Kalau alat produksi (kendaraan) itu milik perusahaan, dan pekerja hanya bekerja saja, maka antara perusahaan dan pekerja ada hubungan kerja. Ada upah yang didapat setelah pekerja menerima dan melaksanakan perintah. Kalau Gojek itu tidak dapat upah, tapi komisi.