Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Leon, bukan nama sebenarnya, cuma bisa pasrah ketika Lion Air Group menyodori lembaran tawaran kontrak kerja pilot berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Ia sebenarnya tak nyaman dengan sejumlah klausul dalam perjanjian kontrak itu, namun tak punya kemewahan untuk memilih. Apalagi ia sudah bertahun-tahun menganggur sejak lulus dari sekolah pilot.
“Sekarang kerja jadi pilot susah. Buah simalakama—maju kena, mundur kena,” katanya kepada kumparan di Jakarta, Kamis (28/11).
Sadar harus bersikap realistis, Leon akhirnya meneken kontrak berdurasi 18 tahun sebagai pilot di Lion Air Group. Dalam kesepakatan kontrak itu juga termuat pasal denda senilai ratusan ribu dolar Amerika (setara miliaran rupiah berdasarkan kurs saat ini). Penalti itu akan berlaku bila dia keluar sebelum masa kerja berakhir.
Saat bicara soal besaran penalti tersebut, suara Leon merendah. Ia membayangkan baru bisa keluar dari Lion ketika usianya menginjak 40-an tahun.
“Tapi kalau enggak tanda tangan (PKWT yang disodorkan Lion), di-black list. Sampai kapan pun enggak akan bisa masuk Lion Group,” ujar Leon dengan nada tak berdaya. Tutur muram itu terdengar begitu jelas dalam hening.
Klausul kontrak kerja ala Lion Group sudah jadi rahasia umum di kalangan peserta sekolah pilot. Tapi bagi Leon dan pilot-pilot muda lain, menampik Lion adalah tindakan konyol. Bagaimana tidak, sebab Lion Air Group merupakan penguasa industri penerbangan komersial nasional.
Kelompok usaha rintisan Rusdi Kirana yang menaungi maskapai Wings Air, Lion Air, dan Batik Air ini mencengkeram 51 persen pasar penerbangan nasional. Ia punya armada penerbangan paling besar di Indonesia, sehingga mampu menyerap tenaga pilot terbanyak.
Di sisi lain, industri penerbangan Indonesia saat ini mengalami surplus pilot . Gejalanya sesungguhnya sudah mulai tampak pada 2009 ketika maskapai penerbangan gencar berekspansi dan menambah armada pesawat.
Seiring peningkatan permintaan akan profesi pilot, banyak orang berlomba-lomba masuk sekolah penerbang. Di kemudian hari, pertumbuhan maskapai yang mulai stagnan membuat ketersediaan pilot melimpah ruah melebihi kebutuhan.
Tak ada angka pasti yang bisa menjadi rujukan rasio jumlah pilot dengan kebutuhan industri penerbangan. “Yang pasti saat ini jumlah pilot di Indonesia masuk pada kondisi oversupply,” kata Rama Noya, Ketua Ikatan Pilot Indonesia.
Leon kemudian bercerita soal kolega-koleganya di sekolah penerbang yang tak kunjung mendapat pekerjaan. Sementara pilot-pilot muda yang lebih beruntung pun tak punya posisi tawar kuat ketika berhadapan dengan Lion Group.
Lion mengenakan kontrak jangka panjang dengan denda besar untuk pilot baru yang belum punya jam terbang. Ada dua jenis kontrak buat mereka: kontrak training dan kontrak kerja.
Kontrak training berdurasi 18 tahun dengan penalti (sanksi denda) ribuan dolar Amerika. Namun pilot muda jebolan flying school Lion Group bahkan bisa dikenakan durasi kontrak hingga 20 tahun.
“Karena biaya pendidikan mereka disubsidi setengahnya sama Lion,” kata Leon.
Berikutnya, pilot yang dinyatakan lulus training atau pelatihan akan diberi kontrak kerja tanpa mengubah durasi masa kerja. Bedanya, penalti meningkat dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu hingga jutaan dolar Amerika.
Kontrak inilah yang membuat Leon merasa terjerat dalam ketidakpastian selama belasan tahun ke depan. Sebab, menurutnya, dalam kontrak itu tidak ada kejelasan arah soal pengembangan kemampuan dan jenjang karier. Ia bisa saja mentok di titik tertentu hingga durasi kontraknya rampung.
“Sebenarnya, kontrak 18 tahun kalau dijanjikan upgrading, kami senang dong,” kata Leon.
Leon tak pernah tahu kenapa pilot muda di Lion Group harus mendapat kontrak jangka panjang. Kontrak belasan tahun semacam itu saat ini tak lagi diterapkan oleh maskapai penerbangan lain di Indonesia, meski belasan tahun lalu Garuda pernah melakukannya.
“Sistem (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) itu dilakukan Garuda sekitar 13 tahun lalu. Pilot yang masuk Garuda ketika sudah berpangkat kapten di-PKWT. Jadi, dulu, karyawan tetap itu hanya pilot yang sejak awal di Garuda, sementara yang join di posisi kapten itu PKWT,” kata seorang mantan pilot Garuda.
Ia lantas menyitir Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk empat jenis pekerjaan, yakni pekerjaan sementara yang sekali garap selesai, pekerjaan dengan jangka waktu penyelesaian tidak terlalu lama atau paling lama tiga tahun, pekerjaan musiman, dan pekerjaan terkait produk atau kegiatan baru yang masih dalam taraf penjajakan.
“Pilot itu kan pekerjaan yang terus-menerus atau sepanjang waktu, bukan musiman. Jadi pilot tidak boleh masuk sistem PKWT,” ujarnya, tegas.
Leon secara terpisah menyatakan, seorang pilot pernah mempertanyakan pemberlakuan PKWT oleh Lion ketika disodori lembar kontrak oleh maskapai itu. Ia kemudian menerima jawaban singkat dari manajemen Lion, “Tinggal pilih, mau tanda tangan atau enggak.”
Penjelasan soal durasi kontrak hanya berkutat pada spekulasi di kalangan pilot: Lion khawatir pilotnya dibajak maskapai lain. Peristiwa itu, berdasarkan cerita yang didapat Leon dari para pilot senior, memang pernah terjadi.
Kala itu, banyak pilot menjadikan Lion sebagai batu loncatan. Begitu sudah mengantongi jam terbang memadai di Lion, mereka pindah ke maskapai lain. Sejak saat itu, Lion memperpanjang masa kerja dalam kontrak.
Hitung-hitungan nilai penalti dalam kontrak kerja pilot muda di Lion Group juga tak kalah misterius. Komponen kalkulasinya, menurut Leon, tidak transparan.
Nilainya, menurut informasi yang diperoleh kumparan dari sejumlah pilot muda Lion, berkisar antara USD 700 ribu sampai USD 1 juta. Besaran penalti bagi setiap pilot bisa berbeda meski mereka masuk dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama.
“Angka yang membedakan paling hanya berapa ratus juta. Tapi kepalanya, miliarnya, sama. Makanya kami bilang itu suka-suka yang ngetik (kontrak),” kata salah satu pilot Lion Group.
Sejumlah pilot senior kepada kumparan menyatakan denda miliaran itu tak masuk akal.
Walau begitu, Lion tidak membebankan biaya type rating kepada pilot. Type rating ialah pelatihan dan izin terbang yang harus dipenuhi penerbang untuk setiap tipe pesawat.
Hal itu berbeda dengan kebanyakan maskapai lain di Indonesia yang membebankan biaya type rating kepada pilot-pilotnya. Biaya type rating terserbut berkisar antara USD 25 ribu sampai USD 30 ribu tergantung jenis pesawat.
Pilot-pilot senior memperkirakan, Lion bisa menekan biaya type rating hingga ratusan juta per pilot karena punya fasilitas pelatihan sendiri.
Kontrak kerja selama 18 tahun sudah jelas membuat Leon merasa terbebani. “Kalau dipikirin sih stres. Tinggal manajemennya saja, bagaimana masing-masing (pilot menangani stres),” ujarnya.
Terlebih, lanjut Leon, Lion kini gencar menekankan aspek keselamatan kepada pilot. Leon mencontohkan, hard landing merupakan barang haram di Lion Group. Pilot yang melakukannya bisa terkena sanksi bahkan pemecatan.
Bayangan denda besar pun menjadi beban pikiran tambahan yang menggayuti benak para pilot muda. Mereka cuma bisa menunggu nasib. Syukur-syukur bila nasib baik yang datang.
Tak heran Leon berharap Lion melakukan pergantian manajemen yang mendorong perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada pilot.
“Kalau begini rasanya enggak diperlakukan kayak pilot. Padahal kan kami mitra kerja (maskapai). Kalau enggak ada pilot, siapa yang bawa pesawat?” kata Leon.
Selama ini pilot Lion tak berani mengungkapkan permasalahan kontrak kerja mereka ke pihak luar. Mereka memilih bungkam karena terdapat klausul untuk menjaga nama baik perusahaan di setiap kontrak.
Leon pun sebenarnya tak tenang saat diwawancara. “Saya seharusnya tidak bicarain ini ke luar,” katanya di sela perbincangan.
Kontrak kerja pilot Lion Group baru terungkap gamblang setelah tewasnya Nicolaus Anjar Aji Suryo Putro. Kopilot Wings Air berusia 27 tahun itu gantung diri di kamar kosnya yang sederhana di Kalideres, Jakarta Barat, Senin (18/11).
Ia mengakhiri hidup bertepatan dengan keputusan perusahaan memecatnya. Nicolaus juga harus membayar penalti Rp 7,5 miliar. Lion Group dalam pernyataan resminya mengatakan, pemecatan Nicolaus dilatari masalah indisipliner.
Tragedi itu memantik keprihatinan Ikatan Pilot Indonesia. Dalam pernyataan sikap yang diunggah di akun Instagram-nya, IPI menyampaikan butir-butir imbauan kepada penegak hukum dan otoritas terkait terkait kematian Nicolaus.
IPI meminta kepolisian mengusut peristiwa tersebut, serta mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan untuk meninjau ulang kontrak kerja Lion Group dengan seluruh penerbangnya.
“Pilot tidak selayaknya menjadi pegawai kontrak. Pilot seharusnya menjadi pegawai tetap, karena ini berkaitan dengan rasa aman dan nyaman dia (dalam bekerja). Karena dia pun berpikir harus mendapatkan jaminan ke depan,” kata Ketua IPI Rama Noya.
Analis kebijakan industri penerbangan Kleopas Danang Bintoroyakti mengingatkan bahwa kontrak yang tak masuk akal berpotensi membebani psikologi pilot.
“Itu berpotensi membuat stres, bisa berpengaruh (ke psikologis) karena ada nominal utang (yang diperhitungkan) itu,” ucap Danang.
Menurut dia, pilot seharusnya bebas dari tekanan dalam bentuk apa pun saat menjalankan tugas. Ini penting diperhatikan untuk menjamin keselamatan penerbangan.
Danang menegaskan, kondisi psikologis pilot sama pentingnya dengan kesiapan pesawat sebelum lepas landas.
“In order to make a safe and good travel experience, harus ada regular check di hardware-nya. Tapi ingat, harus ada (juga pengecekan) brainware. Brainware-nya itu pilot dan kopilot. Pilotnya happy enggak kerja di perusahaan itu?” kata Danang.
Ucapan itu diperkuat oleh panduan Fatigue Management Guide for Operators 2015 terbitan International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Air Transport Association (IATA) yang menyebutkan bahwa stabilitas kerja, termasuk di dalamnya kontrak kerja, merupakan salah satu faktor yang dapat membebani awak pesawat.
Kontrak kerja pilot Lion juga bermasalah dari sisi regulasi ketenagakerjaan. Aloysius Uwiyono, Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, berpendapat UU Ketenagakerjaan tidak membolehkan kontrak tidak tetap berdurasi belasan tahun.
Pasal 59 ayat 4 UU tersebut mengatur bahwa kontrak kerja paling lama berdurasi dua tahun dengan maksimal satu kali perpanjangan berdurasi satu tahun.
“Meskipun penandatanganan kontrak kerja merupakan keputusan bersama, tapi tidak sesuai dengan undang-undang, (maka dari) itu statusnya batal demi hukum,” kata Aloysius.
Ia menjelaskan, pilot yang mendapat kontrak kerja belasan tahun bisa memperjuangkan hak menjadi pegawai tetap atau mendapat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) alih-alih Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Caranya dengan menggugat perusahaan.
“Harus dimintakan pernyataan dari hakim. Dikasuskan. Hakim akan menentukan kontrak menjadi PKWTT. (Jika sudah diputuskan), itu harus dipatuhi,” kata Aloysius.
Terkait ini, Kementerian Tenaga Kerja sampai berita ini ditayangkan belum merespons permintaan wawancara kumparan. Sementara Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Hubungan Industrial Kemenaker John Daniel juga tak menanggapi telepon dan pesan tertulis yang dikirim ke nomor pribadinya.
Manajemen Lion Group membela sistem kontrak PKWT yang mereka terapkan. Managing Director Lion Air Group Daniel Putut menjelaskan, kontrak tersebut adalah kesepakatan yang ditandatangani pilot secara sadar sehingga pilot harus menjalankan segala konsekuensi yang tercantum di dalamnya.
“Kontrak ini untuk mengikat bahwa pegawai ini akan bekerja dalam masa yang telah ditentukan, sehingga disepakati kedua belah pihak menandatangani kontrak tersebut,” kata Daniel, Rabu (25/11).