Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
QRIS-GPN Disorot AS, BI Diminta Tegas Jaga Sistem Pembayaran Domestik
20 April 2025 17:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy, menyatakan bahwa pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) perlu bersikap tegas tetapi tetap harus mengedepankan pendekatan diplomatis.
“QRIS dan GPN merupakan bagian dari agenda strategis nasional untuk memperkuat ekosistem pembayaran domestik. Adopsi QRIS oleh konsumen Indonesia adalah bukti keberhasilannya, bukan alasan untuk dikritik (oleh AS),” ucap Yusuf saat dihubungi kumparan, Minggu (20/4).
Ia menyebut bahwa QRIS dan GPN merupakan bagian dari agenda strategis nasional untuk memperkuat ekosistem pembayaran domestik, menurunkan biaya transaksi, dan mengurangi ketergantungan terhadap infrastruktur asing, sehingga sangat dibutuhkan oleh Indonesia.
Dalam merespons tekanan dari Amerika Serikat terkait kebijakan sistem pembayaran nasional dan perlindungan data, Yusuf menyarankan pemerintah Indonesia dinilai perlu membuka ruang dialog. Namun, dialog itu harus dilakukan dengan tetap menjaga kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
“Jika AS merasa dirugikan, maka dialog terbuka diperlukan, namun dengan prinsip resiprositas dan perlindungan atas kepentingan nasional,” ucapnya.
Meski demikian, pemerintah diingatkan agar tidak tergelincir dalam kompromi yang justru merugikan masa depan kedaulatan digital Indonesia. “Dalam situasi ini, pemerintah tidak boleh terjebak pada kompromi yang merugikan daya saing dan kedaulatan digital Indonesia. Kita harus mampu membedakan antara tuntutan yang mendorong reformasi positif dan yang sekadar melanggengkan dominasi pelaku asing atas sistem domestik,” jelas Yusuf.
Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menilai bahwa hal terdapat sejumlah kebijakan yang diatur BI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang tidak disukai oleh pemerintahan Amerika Serikat.
“OJK dan BI pada saat membuat satu keputusan itu tidak minta pendapat dari pemerintah AS, sehingga banyak sekali peraturan-peraturan itu yang dianggap menyimpang (bagi AS),” sebut Ibrahim.
ADVERTISEMENT
Ibrahim menjelaskan bahwa seharusnya dalam pertemuan tim negosiasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato, Bank Indonesia dan OJK juga turut dilibatkan.
“Seharusnya pada saat negosiasi, BI dan OJK itu ikut dengan delegasi, tetapi pemerintah pun juga belum tahu ini masalahnya apa, dikira masalah ekspor-impor kan,” jelas Ibrahim.
Kemudian, kebijakan pemerintah Indonesia terkait sistem pembayaran seperti Online Single Submission (OSS) juga bisa menuai keberatan dari pihak AS karena dianggap tidak melibatkan konsultasi terlebih dahulu.
“Istilahnya kalau orang bilang bahwa pemerintah membuat satu kebijakan yang berhubungan dengan teknologi alat bayar, itu harus berkonsultasi dulu dengan pemerintah Amerika, ada perwakilannya di Kedutaan Besar Amerika,” jelas Ibrahim.
Sebelumnya, dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025, Amerika Serikat menyoroti kebijakan pembayaran digital Indonesia seperti QRIS dan GPN yang dinilai kurang transparan dan tidak melibatkan perusahaan asing, termasuk dari AS. AS juga mengkritik kewajiban agar seluruh transaksi ritel domestik diproses melalui institusi switching lokal yang berizin Bank Indonesia, karena dianggap membatasi akses dan partisipasi pelaku usaha internasional.
ADVERTISEMENT