RI Butuh 8 Smelter seperti Inalum untuk Serap 3,9 Juta Ton Alumina Lokal

26 Februari 2023 14:27 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sub Koordinator Penyiapan Program Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto (kanan) dalam workshop Mining for Journalist di Wisma ALDC PT Antam, Bogor, Sabtu (25/2/2023). Foto: Akbar Maulana/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sub Koordinator Penyiapan Program Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto (kanan) dalam workshop Mining for Journalist di Wisma ALDC PT Antam, Bogor, Sabtu (25/2/2023). Foto: Akbar Maulana/kumparan
ADVERTISEMENT
Sub Koordinator Penyiapan Program Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto, memperkirakan Indonesia memerlukan 8 smelter seperti yang dimiliki PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) untuk dapat menyerap 3,9 juta ton alumina di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Alurnya, bijih bauksit akan diproses melalui pabrik pemurnian atau refinery menjadi alumina, dan alumina diproses melalui smelter menjadi aluminium ingot. Saat ini, satu-satunya smelter yang bisa memproduksi aluminium ingot adalah milik Inalum.
Dedi menghitung, kapasitas produksi Inalum mencapai 250 ribu ton aluminium ingot dengan kapasitas input alumina mencapai 500 ribu ton. Adapun serapan domestik bijih bauksit tahun 2022 lalu mencapai 7,8 juta ton dan diproses menjadi alumina menjadi sekitar 3,9 juta ton. Artinya, dari 3,9 juta ton alumina yang terserap smelter milik Inalum hanya 500 ribu ton dan dihasilkan 250 ribu ton aluminium ingot.
Smelter nikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM). Foto: PT Antam
"Pemerintah memikirkan sampai dengan jadi aluminium itu artinya harus melipatgandakan industri seperti Inalum. Kalau mau terserap semua 3,9 juta ton ini, kalu (kapasitas input saat ini) 500 ribu ton berarti harus ada 8 kali Inalum," kata Dedi saat workshop Mining for Journalist di Wisma ALDC PT Antam, Bogor, Sabtu (25/2).
ADVERTISEMENT
Pasalnya, dengan kapasitas produksi aluminium ingot yang baru mencapai 250 ribu ton, Indonesia saat ini masih tergantung dengan aluminium ingot impor.
"Sedangkan konsumsi aluminium ingot di Indonesia ini sekitar 1 juta ton aluminium, kita memproduksinya baru 250 ribu ton. Jadi kita masih impor 750 ribu ton," kata dia.
"Artinya perlu dilipatgandakan industri refinery, kemudian industri smelter aluminium supaya untuk memenuhi konsumsi kita, itu cukup lumayan," sambung Dedi.

Beban Listrik jadi Tantangan Utama

Dedi menjelaskan, tantangan utama membangun smelter seperti Inalum tersebut adalah beban biaya listrik yang mahal. Adapun smelter Inalum berlokasi di dekat PLTA sehingga ini memungkinkan dilakukan.
Pabrik peleburan aluminium ini tengah bersiap menghadapi tantangan di tahun 2022. Foto: INALUM
"Tapi ada hal menarik, PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) yang di Bintan itu sedang membangun industri semacam Inalum, ada komplek industri bauksit, alumina, sampai aluminium ingot, tapi yang dibagun lisitriknya adalah PLTU," paparnya.
ADVERTISEMENT
Padahal, terang Dedi, harga listrik yang dipatok PLTU hampir USD 10 cent per kWh bahkan bisa lebih. Sementara permintaan dari industri aluminium harga listrik yang ideal harusnya di bawah USD 5 cent per kWh, atau sekitar USD 4 cent per kWh.
"Mereka jawabannya, mereka akan dibuat suatu kompleks sampai dengan hilir, jadi cost yang di sini (beban listrik) tergantikan di hilirnya lagi," pungkas dia.