Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sore ini berada pada posisi terendahnya sejak awal tahun. Mengutip data perdagangan Reuters, Senin (13/5), mata uang garuda terus melemah sejak perdagangan pagi tadi.
ADVERTISEMENT
Hingga pukul 14.20 WIB, kurs rupiah terhadap dolar AS berada di posisi Rp 14.464, sementara pagi tadi di angka Rp 14.320.
Kurs rupiah sore ini berada pada titik terburuknya secara year-to-date (YTD). Jatuhnya rupiah sore ini telah menyalip posisi terendah pada tanggal 2 Januari 2019 yang berada di angka Rp 14.450.
Padahal, rupiah sempat menyentuh angka Rp 13.000-an atau berada di posisi Rp 13.985 pada 18 April 2019. Rupiah saat itu menguat karena adanya sentimen Jokowi yang memenangi hasil hitung cepat (quick count) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Penguatan rupiah tampaknya berlangsung sementara. Memasuki bulan Ramadhan, kinerja rupiah kembali memudar.
BI: Pelemahan Rupiah Imbas Perang Dagang AS-China
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah mengatakan, pelemahan rupiah kali ini juga dirasakan oleh mata uang negara berkembang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh eskalasi sengketa dagang AS-China yang belum mencapai kesepakatan.
ADVERTISEMENT
"Pelemahan rupiah bersamaan dengan pelemahan mata uang regional dan seluruh emerging market, dipengaruhi oleh melemahnya China yuan, dipicu oleh eskalasi sengketa dagang sehubungan dengan rencana retaliasi tarif oleh China," ujar Nanang kepada kumparan, Senin (13/5).
Nanang memastikan, bank sentral pun melakukan stabilisasi rupiah melalui pasar Surat Berharga Negara (SBN), Domestic Non Delivery Forward (DNDF), maupun di pasar spot. Hal ini demi menjaga nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya.
"BI melakukan stabilisasi di pasar bond, DNDF, dan spot," jelasnya.
Perang Dagang AS-China Memburuk
Perang Dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) memasuki fase lebih buruk. Presiden AS Donald Trump memutuskan menaikkan tarif hingga 25 persen terhadap produk impor asal China yang bernilai USD 200 miliar. Tarif yang naik dari 10 persen ke 25 persen ini akan berlaku efektif hari ini, Jumat pukul 12.01 AM waktu AS.
ADVERTISEMENT
Ditulis The Wall Street Journal, Jumat (10/5), kenaikan tarif tetap dilaksanakan padahal kedua pihak pada Kamis kemarin dan hari ini melakukan pertemuan untuk mencari titik temu terkait isu perang dagang.
Keputusan kenaikan tarif ini muncul pascapertemuan antara Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, dan Presiden Trump.
"Progres perundingan dengan China tetap akan dilanjutkan pada Jumat pagi di Kantor Perwakilan Dagang AS," ungkap keterangan Gedung Putih.
Pascakeputusan ini, Beijing berjanji akan membalas kenaikan tarif yang dijatuhkan Washington. Tapi belum jelas tentang sanksi apa dan kapan Beijing akan menerapkan balasan ke AS.
Selain menaikkan tarif 25 persen untuk produk impor asal China bernilai USD 200 miliar, Trump kemarin menyebut tengah menyiapkan dokumen sanksi terbaru berupa kenaikan tarif 25 persen untuk produk impor Tiongkok yang belum terkena tarif. Tarif akan dijatuhkan untuk produk impor senilai USD 325 miliar.
ADVERTISEMENT
"Saya berbeda dengan banyak orang. Saya berpikir tarif yang kita tetapkan sangat kuat," ungkap Trump di Gedung Putih.
Putusan Trump ini dilakukan karena AS kecewa terhadap jalannya perundingan penyelesaian perang dagang. Trump menilai China merusak perundingan. Namun, China dengan tegas membantah tudingan tersebut dan berencana membuat balasan terhadap tarif terbaru AS.
"Saya datang ke AS saat ini, meski dalam tekanan untuk menunjukkan ketulusan China," kata Wakil Presiden China Liu He dalam wawancara dengan media China CCTV saat baru mendarat di AS.
Pelemahan Rupiah Diprediksi Berlanjut hingga Akhir Bulan Ini
Ekonom Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi mengatakan, pelemahan rupiah kali ini utamanya karena kegagalan perundingan AS-China, yang juga menekan mata uang di negara berkembang lainnya. Selain itu juga akibat faktor musiman pembagian dividen di domestik.
ADVERTISEMENT
"Sampai akhir bulan ini rupiah masih fluktuatif dan cenderung tertekan, pergerakannya saya perkirakan di kisaran Rp 14.300 hingga Rp 14.700 per dolar AS," ujar Eric kepada kumparan.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual menuturkan, rupiah diperkirakan akan terus berada di level Rp 14.300-14.500 dalam beberapa waktu ini. Investor juga masih menunggu hasil neraca perdagangan April 2019 yang akan diumumkan pada Rabu (15/5) serta keputusan Bank Indonesia (BI) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan depan.
"Pasar juga menunggu minggu ini soal data perdagangan RI bulan April dan keputusan BI mengenai arah suku bunga patokan BI 7 DRR ke depan. Rupiah diperkirakan bergerak di level support 14.300 dan resistance 14.500," kata David.
ADVERTISEMENT
Dia pun menjelaskan, faktor pelemahan rupiah kali ini juga karena adanya ketidakpastian perang dagang AS-China pasca pengenaan tarif barang-barang impor China sebesar 25 persen senilai USD 200 miliar.
"Pasar masih menunggu reaksi China pascakenaikan tarif sebesar 25 persen," katanya.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menuturkan, dengan mentahnya perundingan perang dagang AS-China membuat ketidakpastian pada perekonomian global, termasuk Indonesia. Apalagi saat ini Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah berupa defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
"Kondisi ini merupakan pertimbangan investor global atas investasi portofolio mereka di Indonesia. Sedikit saja mereka menarik investasi mereka keluar, rupiah secara signifikan melemah. Saya kira ini yang sedang terjadi," katanya.
ADVERTISEMENT