Saran INDEF bagi Industri Halal RI di Tengah Perang Tarif AS

25 April 2025 20:00 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi logo Halal. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi logo Halal. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai perang tarif Amerika Serikat (AS) bisa memukul ekosistem industri halal di Indonesia, terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
ADVERTISEMENT
Ketua Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Nur Hidayah, mengatakan salah satu alasan AS mengenakan tarif resiprokal 32 persen kepada Indonesia adalah AS keberatan terhadap undang-undang (UU) Jaminan Produk Halal alias sertifikasi produk halal.
Dalam laporan Perkiraan Dagang Nasional 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS pada 31 Maret 2025, AS memaparkan hambatan perdagangan luar negeri yang dihadapi eksportirnya, di antaranya adalah cakupan sertifikasi yang terlalu luas.
"Amerika Serikat menilai kewajiban halal mencakup terlalu banyak produk dan proses bisnis," kata Nur Hidayah saat Diskusi Publik INDEF, Jumat (25/4).
Kemudian, lanjut dia, kurangnya transparansi dan inklusivitas karena Indonesia tidak menyampaikan rancangan aturan ke World Trade Organization (WTO) dan tidak melibatkan pemangku kepentingan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, akreditasi halal asing dinilai terlalu rumit. Proses akreditasi bagi lembaga halal asing dinilai memberatkan, tidak efisien dan berpotensi menjadi hambatan perdagangan. Aturan ini pun dikhawatirkan akan menghambat produk AS masuk ke pasar Indonesia.
Nur Hidayah menyebutkan, kebijakan tarif impor AS dapat menekan pasar produk halal Indonesia, terutama sektor UMKM. Tercatat, 87 persen pelaku industri halal adalah UMKM.
"Namun hanya 11 persen yang memiliki akses terhadap pembiayaan syariah. Ketika terjadi tekanan yang besar seperti tarif, pendapatnya akan langsung terasa baik di hulu, di tengah maupun di hilir. UMKM terpukul, pembiayaan macet, dan konsumsi lemah," jelas Nur Hidayah.
Dengan begitu, menurutnya, dampak tarif AS terhadap UMKM dan industri halal akan cukup signifikan. Pasalnya, ekspor produk halal Indonesia mencapai USD 41,42 miliar pada periode Januari 2024.
ADVERTISEMENT
"Terdapat proyeksi bahwa margin keuntungan bisa turun sampai 23 persen dengan tarif impor 32 persen," ungkapnya.
Dampak lainnya yaitu penurunan pada output produksi hingga potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena adanya penurunan permintaan ekspor.
"UMKM terpaksa untuk mengurangi produksi dan berisiko untuk memutuskan pemutusan kerja akan meningkat," imbuh Nur Hidayah.
Dari aspek pembiayaan keuangan syariah, lanjut dia, juga ada risiko di mana pendapatan UMKM yang menurun akan berakibat pada tertundanya pembayaran cicilan dan berpotensi untuk meningkatkan non-performing financing.
Dengan demikian, Nur Hidayah meminta agar pemerintah tidak melunak. Dia menilai, sertifikasi halal adalah hak konstitusional umat Islam, bukan sekadar regulasi teknis atau hambatan dagang.
Di Indonesia, UU jaminan produk halal merupakan kewajiban negara untuk melindungi konsumen berbasis kepercayaan agama.
ADVERTISEMENT
"Sehingga mungkin posisi Indonesia tidak perlu melunak terhadap prinsip halal ini karena mencakup aspek religius, sosial, dan ekonomi yang fundamental," tegasnya.
Di sisi lain, dia menilai masih ada berbagai tantangan yang harus dibereskan dalam sertifikasi halal, utamanya tata kelola seperti lambatnya proses, biaya tinggi, keterbatasan sumber daya manusia, auditor, dan lemahnya koordinasi antar lembaga.
"Reformasi tata kelola perlu diperkuat dengan digitalisasi dan juga harmonisasi standar serta penguatan sumber daya manusia dan kolaborasi yang lebih kuat dengan semua pemangku kepentingan termasuk dengan para pelanggan usaha," jelas Nur Hidayah.