Selain Tiket, Dari Mana Saja Pendapatan MRT Jakarta?

19 November 2019 16:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Stasiun MRT Lebak Bulus. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Stasiun MRT Lebak Bulus. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Setelah beroperasi secara komersial pada April 2019, PT MRT Jakarta terus berupaya meningkatkan layanannya. Selain untuk kenyamanan penumpang, peningkatan itu diharapkan bisa menambah pemasukan sehingga operasional kereta MRT bisa maksimal.
ADVERTISEMENT
Lalu, sampai saat ini apa saja yang bisa dijadikan pemasukan oleh MRT Jakarta?
Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi PT MRT Jakarta, Tuhiyat menjelaskan, sejauh ini ada 3 bidang yang jadi pemasukan yaitu subsidi, farebox, dan non farebox.
Non farebox artinya pendapatan di luar tarif itu non fare. Satu, iklan ini yang namanya advertising sekitar Rp 124 miliar ini iklan. Kalau anda ke MRT lihat itu semua iklan,” kata Tuhiyat saat penyampaian materi dalam MRT Journalist Fellowship Program 2019 di Kantor MRT, Jakarta Pusat, Selasa (19/11).
Selain itu ada juga telekomunikasi yang semula hanya Telkomsel, saat ini semua provider sudah akses di Stasiun MRT. Tuhiyat mengungkapkan kontribusi pemasukan dari segi transportasi tidak besar. Namun, demi kenyamanan penumpang hal itu harus difasilitasi.
ADVERTISEMENT
Tuhiyat membeberkan pemasukan berikutnya dari segi non farebox adalah ritel. Ritel ini juga dibagi dari yang branded dan UMKM yang bisa berjualan di Stasiun MRT. Produk yang dijual harus terlebih dulu dikurasi oleh Bekraf.
Tuhiyat memaparkan ritel juga sebenarnya tidak menyumbang begitu banyak pendapatan untuk MRT Jakarta.
“Ini di semuanya (ritel) berapa porsinya hanya 1 persen dari kita tapi hebohnya luar biasa ya kan. Tapi cuman 1 persen pendapatannya, kecil. Tapi yang menarik bukan dari pendapatannya yang kita lihat tapi efek ridership orang naik MRT jauh lebih banyak karena ada ini,” ungkap Tuhiyat.
Pendapatan yang terbesar dari segi non farebox adalah penamaan stasiun atau naming rights. Sejauh ini ada 5 stasiun yaitu Setiabudi, Blok M, Istora, Dukuh Atas, dan Lebak Bulus.
ADVERTISEMENT
Tuhiyat menjelaskan biaya tertinggi penamaan stasiun ada di Lebak Bulus karena menjadi nama stasiun yang paling sering disebut.
Naming rights dari semua non farebox saat ini yang terbesar. Setelah itu baru advertising, (naming rights) nominalnya sekitar Rp 33 miliar,” ujar Tuhiyat.
Tuhiyat memastikan stasiun-stasiun lainnya bakal diberikan penamaan. Saat ini proses tersebut masih berlangsung. Khusus untuk Stasiun Bundaran HI, Tuhiyat mengaku belum bisa memutuskan korporasi mana yang bakal mendapatkannya.
Kereta MRT Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Yang kita hold HI dulu nanti terakhir (penamaan stasiun). Pokoknya (HI) kita jual paling mahal karena pusat kota, di ujung dan disebut terus,” ungkap Tuhiyat.
Tuhiyat belum mau membeberkan berapa target pendapatan dari non farebox sampai akhir tahun. Namun, ia mengungkapkan sampai saat ini pendapatan dari non farebox sudah mencapai Rp 225 miliar.
ADVERTISEMENT
Sementara itu pendapatan dari tiket atau farebox, Tuhiyat menjelaskan mulanya pihak MRT ditargetkan mendapatkan penumpang sebanyak 65.000 setiap harinya. Ia memastikan target tersebut terlampau karena penumpang MRT Jakarta sudah mencapai rata-rata 90.000 setiap hari.
Sebagai catatan, tiket MRT dijual dengan tarif berbeda sesuai dengan jarak tempuh. Penumpang yang naik dari Stasiun Lebak Bulus ke Stasiun Fatmawati berbeda dengan dari Stasiun Lebak Bulus menuju Bundaran HI.
“Kalau dirata-rata selama operasi kita 8 bulan itu rata-rata banyaknya per orang itu Rp 8.000 rata-rata (harga tiket). Jadi Rp 8.000 capai jumlah kita penumpang 90.000 per hari jadi melebihi target yang 65.000. Jadi sekitar 18 persen total Rp 180 an miliar,” terang Tuhiyat.
Tuhiyat menuturkan salah satu yang paling berpengaruh menjadi pendapatan MRT Jakarta adalah subsidi dari Pemprov DKI. Kalau tidak disubsidi, harga tiket dari Stasiun MRT dari Bundaran HI ke Lebak Bulus bisa mencapai Rp 30.000.
ADVERTISEMENT
“Subsidinya kurang lebih sekitar Rp 560 miliar. (Itu) 9 bulan dari 1 April sampai Desember,” terang Tuhiyat.
Tuhiyat menjelaskan subsidi itu akan dibayarkan Pemprov DKI setelah diaudit oleh BPK. Sehingga untuk menjalankan operasional sehari-hari, MRT Jakarta menggunakan pemasukan dari non farebox.
“Ini kita sekarang pakai dana non farebox yang sekarang operasional,” kata Tuhiyat.
Segala pendapatan MRT Jakarta juga harus diiringi dengan beban yang ditanggung. Komponen beban tersebut diantaranya adalah pelatihan pengembangan, operasional kantor, pemeliharaan, outsourcing, jasa konsultan dan asuransi, energy dan utility, sewa kantor dan kendaraan, sampai gaji dan tunjangan.