Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Sudah tiga bulan work from home dilakukan oleh sebagian besar pekerja di Jakarta. Sebabnya, kita tahu, adalah virus corona sialan yang sudah membunuh 1.613 orang di Indonesia per 31 Mei kemarin. Namun pembatasan sosial tak bisa selamanya dilakukan. Ancang-ancang new normal pun sudah ramai digembar-gemborkan.
Katanya, hidup mesti beranjur dan karenanya bisnis harus berjalan lagi. Itu termasuk gagasan memaksa jutaan buruh kembali berdesakan di antara sekat-sekat di balik tembok padat perkotaan bernama kantor. Beberapa pertimbangan mengingatkan kita bahwa ide tersebut, meski terasa mudah dan nostalgik, ternyata tidak baik-baik amat.
Bekerja di kantor (WFO, work from office) atau bekerja dari rumah (WFH , work from home)?
Kalau harus memilih antara WFO dan WFH, Dewi akan berjabat tangan dengan konsep WFO, mengucapkan sedikit terima kasih, lalu memesankannya taksi, dan membuatnya pergi jauh-jauh. Ia cukup senang menjalani WFH selama tiga bulan terakhir. Tanggung jawabnya selesai dan semua terlihat baik-baik saja. Mengapa harus berubah?
Biasanya, Dewi akan menghabiskan tiga jam setiap harinya berdesakan di antara keringat, rasa kantuk, dan kekecewaan demi berpindah dengan rute Bogor-Jakarta-Bogor hanya untuk bekerja di kantor . Jika sepekan ia bekerja lima hari, setahun ia menghabiskan waktu 720 jam di jalan. Angka itu berarti 30 hari penuh setahun. Padahal, jatah cutinya setahun cuma 12 hari saja.
Itu baru soal commuting. Dewi, karyawan swasta 30-an tahun itu, ternyata tidak menemukan kantor sebagai tempat bekerja yang ideal. Ia malas berbasa-basi dan konsentrasi susah didapat dengan begitu banyak orang berkerumun di satu tempat. “Sekarang aku jadi bisa menyisihkan waktu secara signifikan buat belajar,” ujarnya.
“Kenapa harus jauh-jauh ke kantor kalau kerjaan bisa diberesin di rumah? Koordinasi ternyata bisa telepon, concall. Kalau demi tanggung jawab yang nggak bisa dilepas dan rasa kangen, cukuplah seminggu sekali absen,” tambah Dewi.
Bekerja, terutama di kota seperti Jakarta, memberikan beban yang lebih ketimbang anda yang bekerja, misalnya, di Temanggung. Proses commuting tentu jadi yang utama. Berangkat menggunakan KRL membuatmu lemas, tak semangat, kadang terhantam kanan-kiri. Juga jangan harap social distancing berjalan maksimal.
Sementara yang berkendara harus kehilangan 174 jam karena macet di rush hour per tahunnya menurut data Tomtom Traffic Index 2019. Jumlah 174 jam itu bisa anda gunakan untuk mendengarkan lagu Imagine (1971) John Lennon sebanyak 3.351 kali atau menonton The Secret Life of Walter Mitty (2013) sebanyak 87 kali.
Padahal, commuting (dan kemacetan juga segala sumpah serapah yang ditimbulkannya) sama sekali tidak baik buat para pekerja, baik secara fisik maupun mental. Penelitian di Inggris pada 2014 bilang perjalanan ke kantor antara 60-90 menit membuat seseorang memiliki kepuasan hidup lebih rendah, level kebahagiaan lebih rendah, merasa aktivitasnya kurang bermakna, dan punya tingkat kegelisahan yang lebih tinggi daripada yang bukan commuter.
Sementara, hunian yang masih bisa dibilang terjangkau selalu jauh dari pusat Jakarta. Mereka tercecer di ujung Depok, Bekasi, Tangerang, sampai Bogor. Punya rumah di Jakarta? Yang benar saja. Bisa punya rumah saja sudah membuatmu tertawan KPR selama puluhan tahun.
Lagi pula, apa yang tidak membosankan dari duduk di kubikel selama delapan jam (perkiraan optimistis) sambil memandangi layar komputer? Apa menariknya terjebak di antara tembok-tembok dingin (atau kaca-kaca buram pada gedung tinggi)?
Seperti desainer asal Inggris, Thomas Heatherwick, bilang di Economist pekan lalu, kantor sering kali terlalu membosankan. Pada dasarnya, kantor adalah tumpukan meja dan wifi—apa bedanya dengan teras rumah anda?
Oke, kantor berusaha memperbaiki mood pekerjanya dengan meja pingpong, kolam bola, atau sebutir PlayStation. Tapi, seberapa membantunya sih mainan-mainan begitu buat kewarasan karyawan? Dumb fun saja, kalau kata Heatherwick.
Selain tak enak di mata, kehidupan kantor juga tidak baik buat tubuh. Duduk terus-terusan dalam waktu lama meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, beberapa jenis kanker, dan sakit punggung. Ia juga meningkatkan tekanan darah, kolesterol, juga memperbesar kemungkinan anda obesitas. Tolong letakkan lagi itu cemilannya.
Sederet perusahaan raksasa dunia telah memutuskan untuk mempertahankan model kerja dari rumah. Setidaknya Google, Twitter, dan Facebook bahkan membuka opsi untuk melanjutkan model kerja jarak jauh untuk selamanya dengan beberapa syarat. Alasan virus corona tentu menjadi yang utama, meski mungkin efektivitas dan fakta bahwa tiga bulan ke belakang operasional bisa tetap berjalan menjadi hal lain yang dipertimbangkan.
Tentu saja tak semua jenis pekerjaan bisa dilakukan dari rumah. Pekerjaan kerah biru tetap memaksa pegawainya berada di satu tempat dan menggerakkan mesin-mesin produksi. Namun, ide bahwa macet tak akan jadi sedemikian panjang, desakan di kereta tak sedemikian parahnya, dan potensi penghematan di bidang lain dapat diperbesar, membutuhkan penilaian yang lebih serius sebelum ditolak begitu saja.
Karena pada dasarnya, selain punya dampak buruk buat karyawan, kantor juga jadi pemborosan buat para pemilik modal. Segala macam keperluan operasional dari sewa gedung, listrik, perawatan, sampai tetek bengek lainnya bisa menjadi penghematan berharga.
Yang dilakukan Sir Martin Sorrell jadi contoh oke. Pengusaha bidang periklanan top di Inggris itu mulai menghentikan sewa kantor di beberapa tempatnya karena melihat proses WFH cukup “menyegarkan”.
“Aku menghabiskan sekitar £35 juta per tahunnya (setara Rp633 miliar) untuk sewa kantor. Uang segitu mending kuinvestasikan ke karyawan,” katanya, seperti dikutip dari Financial Times.
Ini tentu saja bisa dicontoh pengusaha di Indonesia. Kapan lagi ada kesempatan bagi perusahaan untuk bisa menghemat pengeluaran, sembari terlihat peduli pada pengembangan kemampuan karyawannya?
Dari segi efektivitas pada beberapa jenis pekerjaan, WFH memotong banyak sekali ongkos dan hambatan dalam proses menjadi produktif. Bahkan buat PNS, yang selama ini dianggap banyak orang sebagai elemen kerja yang lamban dan tidak produktif , WFH memberikan beberapa kelebihan yang segar.
“Seperti kalau rapat, itu memang lebih efektif (online) daripada kalau dilakukan di kantor. Kalau melalui video conference itu kita kapan saja, di mana saja, mengundang instansi mana saja tidak perlu datang dan tidak ada yang telat, on time. Sehari rapat bisa beberapa kali,” kata Plt Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara, Paryono, kepada kumparan, Kamis (28/5).
“Kalau seperti kemarin (sebelum pandemi), kalau rapat diundang ke kementerian tertentu, paling sehari cuma sekali karena kita sudah habis waktu di jalan,” ujar Paryono.
Meski begitu, tak semua elemen WFH menghasilkan hal positif. Yang terjadi pada Argi menjadi contohnya. Desainer pada sebuah perusahaan startup di Jakarta itu menilai bekerja di kantor tetap memiliki keunggulan ketimbang bekerja dari rumah. Ia bilang, proses koordinasi lebih mudah dan kerja jadi lebih fokus.
“Selain itu, kalau kerja di kantor jam-jamnya jelas. Misalnya gue start jam 10 pagi, lalu balik jam 7-8 malem. Habis kita pulang ke rumah, kita udah bebas nggak ada pikiran,” tutur Argi menceritakan kaburnya jam kerja saat WFH.
“Nah, kalau WFH, sampai jam 9 jam 10 malam itu bisa masih ada revisi. Garis (batas antara kapan waktu bekerja dan kapan seharusnya selesai) jadi ngeblur,” katanya.
Tidak semuanya seperti apa yang dialami Argi. Gilang, pegawai HRD yang bekerja di perusahaan teknologi asal Korea Selatan, selama satu bulan terakhir merasa tempat kerjanya wajar saja dalam memperlakukan jam kerja.
“Kalau udah di atas jam tertentu, grup di WhatsApp udah sepi pergerakannya. Ya seperti jam kerja biasa saja,” ujarnya kepada kumparan.
Hal itu, kata Gilang lagi, berbeda dengan tempat kerja dia sebelumnya. Sebelum terkena gelombang layoff akibat corona akhir April lalu, ia bekerja di sebuah startup penyedia bahan makanan B2B. “Waktu dulu di startup, justru lebih banyak kerjaan ketika di rumah ketimbang di kantor. Di tempat sekarang nggak begitu, tetap ada jam kerjanya,” kata dia.
Kaburnya jam kerja, batasan waktu libur dan tidak libur, serta beban pekerjaan yang serasa bertambah selama WFH ini jadi fenomena yang umum dalam proses WFH. Tidak adanya ‘jam datang’ dan ‘jam pulang’ membuat garis batas wewenang atasan jadi tidak terkontrol. Ditambah lagi dengan adanya smartphone dan akses digital yang bisa membuat perusahaan kapan saja terhubung dengan pegawai.
William Becker, profesor dari Virginia Tech University, menyimpulkan pada penelitiannya Killing me softly: electronic communications monitoring and employee and significant-other well-being (2018) bahwa keterikatan pegawai dengan kantor melalui gawai elektroniknya akan meningkatkan kecemasan dan konflik antara pegawai dan orang terdekatnya.
Dalam banyak kasus, Becker juga bilang konsep ‘batas kerja yang fleksibel’ kerap berubah menjadi ‘kerja tanpa batasan’. Dalam jangka panjang, tulisnya, hal tersebut akan mengganggu kesehatan dan kewarasan pekerja.
Sudah jelas bahwa WFH dan WFO memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, mengingat kondisi perkembangan wabah COVID-19 yang jauh dari kata terang-benderang apalagi terkontrol, perlu kebijakan dan pemikiran yang lebih matang oleh negara dan para pengusaha, apakah sudah waktunya membuat pegawainya masuk kantor.
Apalagi, seperti jargon yang diulang-ulang, pegawai kan aset yang amat berharga buat perusahaan.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.