news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Siasat Arcandra Agar Indonesia Tak Perlu Impor Gas di 2025

1 Oktober 2018 19:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar Meluncurkan Neraca Gas Bumi Indonesia 2018-2027 di Kementerian ESDM, Jakarta. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar Meluncurkan Neraca Gas Bumi Indonesia 2018-2027 di Kementerian ESDM, Jakarta. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Indonesia diperkirakan akan kekurangan pasokan gas bumi pada 2025 mendatang. Hal ini diungkapkan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar dalam peluncuran buku Neraca Gas Bumi Indonesia 2018-2027 di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (1/10).
ADVERTISEMENT
Arcandra menjelaskan, perkiraan kekurangan gas (shortage) itu berdasarkan skenario II yang Kementerian ESDM rancang. Dalam skenario itu, kekurangan pasokan gas bumi karena serapannya maksimal dengan pertumbuhan listrik 5,5 persen sesuai asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tapi dia menegaskan, saat itu tiba, tidak semua region kekurangan gas. Kementerian ESDM sendiri membagi wilayah Indonesia menjadi 6 region yang dikelompokkan berdasarkan kedekatan wilayah dari Sabang sampai Merauke.
Menghadapi kondisi itu, Arcandra menuturkan, pihaknya telah menyiapkan cara. Salah satunya dengan mentransfer gas bumi dari region lain yang tidak shortage. Karena itu, menurutnya, kekurangan gas bumi pada 2025 mendatang tidak bisa dipukul rata.
"Nah ini perlu saya koreksi kembali tergantung regionnya. Tidak semua region shortage. Dan yang shortage, misal di region III, dengan menyambung pipa antara Gresik-Semarang, maka suplai akan berasal dari Surabaya dan sekitarnya ini jadi tidak shortage lagi," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Transfer pasokan gas ke region yang shortage saja tidak cukup. Untuk menutupi kebutuhan pasokan gas, perlu dibangun infrastuktur gas seperti pipa transmisi, terminal LNG, dan FSRU.
Fakta di lapangan, saat ini ada sumber gas yang infrastruktur untuk penyaluran gas ke konsumen sudah dibuat, tapi pembelinya tidak ada. Atau, pasarnya sudah ada tapi harganya tidak cocok sehingga gas itu belum bisa terserap maksimal. Menurut Arcandra, antara infrastruktur dan permintaan gas harus sejalan.
"Kalau hanya disuplai daerah lain tapi infrastruktur tidak dibangun sama saja. Tadi dikatakan, ini seperti telur dan ayam, infrastruktur atau demand dulu. Kalau bisa dua-duanya. Berdasarkan suplai yang ada, kita lihat potensi demand seperti apa kemudian dibangun," katanya.
ADVERTISEMENT
Dengan dua langkah ini, Arcandra mengatakan kekurangan gas di region-region tertentu bisa ditutupi. Dengan begitu, Indonesia tidak perlu impor gas.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan eksplorasi gas. Tapi proses ini memakan waktu yang lama hingga sumur baru bisa benar-benar berproduksi.
Kargo LNG domestik perdana 2018 (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kargo LNG domestik perdana 2018 (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Karena itu, memaksimakan infrastruktur gas menjadi kunci. Ada dua infrastuktur untuk memaksimalkan penyaluran gas ke region yang shortage, yaitu dengan pipa gas dan Floating Storage Regasification Unit (FSRU).
Arcandra mengakui, pembanguan kedua infrastruktur gas itu membutuhkan uang yang tidak sedikit. Biaya perusahaan pun akan bertambah dan akan berpengaruh ke harga jual gas, terutama ke industri. Karena itu, pembangunan infrastuktur gas juga perlu dihitung cermat.
"Pasti berpengaruh pada cost. Makanya mesti dihitung mana infrastuktur yang lebih murah sebab tidak selamanya pipa lebih murah dari FSRU, begitu pun sebaliknya. Tergantung jarak," tutupnya.
ADVERTISEMENT