Siasat Sritex Bisa Berjaya Ungguli China

22 Februari 2019 16:22 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dirut PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dirut PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mayoritas produksi tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) ditujukan untuk pasar ekspor. Tahun lalu, 57 persen produk tekstil dan garmennya dijual ke pasar internasional. Di sini, emiten yang lebih dikenal dengan nama Sritex juga dipercaya untuk memproduksi produk fashion dengan brand ternama.
ADVERTISEMENT
Sebut saja H&M, Disney, Guess, NewYorker hingga Lee. Produk tekstil buatan Sritex telah dijual di 100 negara. Sritex juga dipercaya memasok pakaian militer untuk 33 negara.
Untuk pasar global ini, Sritex selalu bersaing sengit hadapan dengan perusahaan asal China. Tapi berkat dukungan bahan baku dan teknologi, Sritex yang bermarkas di Sukoharjo, Jawa Tengah ini, bisa memenangkan persaingan dengan produk China yang dikenal murah.
"Kalau ekspor, tetap head to head sama China," kata Chief Executive Officer (CEO) Sri Rejeki Isman, Iwan Setiawan Lukminto dalam wawancara untuk program The CEO kumparan, di kantornya di Energy Building, Jakarta, Senin (12/2).
Selain bahan baku dan teknologi, Sritex juga unggul dari segi biaya tenaga kerja. Sritex mampu menekan biaya tenaga kerja hingga 7 persen. Menurut Iwan, biaya tenaga kerja di China sudah mahal sehingga mereka mulai memindahkan lini produksi ke Vietnam.
ADVERTISEMENT
"Ada sampai 10 persen (biaya tenaga kerja di industri tekstil Indonesia). Kalau di Sritex lebih rendah, 7 persen karena ada teknologi," tambahnya.
Dirut PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Namun Iwan mengakui, China memiliki keunggulan lain. Yakni dukungan fiskal dari pemerintah. China memperoleh insentif pajak atau subsidi, sehingga produknya bisa menjadi lebih murah. Sebaliknya, tekstil Indonesia menggunakan skema persaingan usaha sehat.
"Musuh kita disubsidi. China dapat 16 persen (rebate pajak), Vietnam dan Bangladesh diuntungkan duty (kalau ke pasar AS). Kita benar-benar bertarung," sebutnya.
Meski demikian, Iwan tak berkecil hati karena pihaknya selalu unggul dalam riset dan pengembangan produk, termasuk menjaga kualitas. Hal tersebut menjadi kunci untuk dipercaya mitra bisnis global, termasuk kepercayaan militer dari 33 negara.
"Inovasi, R&D. Produk-produknya diperbaharui terus. Jangan sampai pergi kalau sudah punya buyer, jangan sampai keluar. Barangnya harus diperbaharui terus," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Baju tahan api Sritex Indonesia. Foto: Elsa Toruan/kumparan
Sritex juga mengambil langkah lebih berani. Perusahaan yang didirikan tahun 1966 di Pasar Klewer, Solo ini, tak sekadar bersaing dengan China, namun juga sudah masuk ke pasar China. Tahap awal, Sritex telah mengekspor benang ke Negeri Panda itu. Ke depan, Sritex menyiapkan ekspor pakaian jadi ke negara tersebut.
Selain sebagai pesaing, China dipandang sebagai pasar karena memiliki penduduk 1,4 miliar jiwa. Penduduk China juga mulai sadar terhadap produk tekstil berkualitas, seiring naiknya pendapatan masyarakat di sana. Namun, masuk ke Negeri Tirai Bambu bukanlah perkara mudah.
"Bukan masalah berapa lamanya, tapi dokumentasi apa-apanya lebih berabe gitu lho. Dia birokrasinya dipersulit karena dia jaga impor," tuturnya.
Perang Dagang AS-China Membawa Berkah
Di tengah perang dagang China dengan Amerika Serikat (AS), industri tekstil asal Indonesia meraih berkah. Terjadi kenaikan permintaan produk-produk tekstil asal Indonesia ke pasar AS, karena Presiden Donald Trump mengenakan tarif tambahan terhadap produk-produk asal China. Alhasil, produk asal China menjadi kurang kompetitif. Salah satu perusahaan tekstil asal tanah air yang diuntungkan ialah Sritex.
ADVERTISEMENT
“Iya karena ekspor ke AS naik. China under pressure, duty naik dan lain-lain. Kita melihat market volatile. Kami cermati di situ. Ada beberapa juga pemain terutama tekstil di China banyak kehilangan order dari AS. Itu sebagai opportunity kita. Ada switch. Porsi ke AS lebih besar 2018,” kata Iwan.
Mayoritas produksi Sritex menyasar pasar ekspor. Produk yang dihasilkan Sritex berupa seragam, produk fashion, dan benang. Sritex juga memproduksi seragam militer untuk 33 negara.
"Porsi ekspor 57 persen (2018). Dengan adanya perang dagang, naik jadi 57 dari 55 persen," tambahnya.
Dari laporan keuangan, Sritex mencatat laba bersih USD 70,5 juta atau setara Rp 987 miliar (kurs USD 1 = Rp 14.000) hingga kuartal II-2018. Perolehan itu meningkat 49,3 persen. Saat terjadi gejolak kurs, Sritex juga terbantu karena ada bahan baku yang sudah diproduksi sendiri. Kemudian, mayoritas penjualan ditujukan untuk pasar ekspor sehingga perusahaan memperoleh manfaat dari natural hedging. Alhasil, biaya dalam dolar terkompensasi oleh pendapatan dalam bentuk valuta asing.
ADVERTISEMENT
"Ya karena juga kalau beli bahan baku ke luar pakai USD lagi. Kalau orang yang enggak punya exposure ekspor akan jebol. Kalau kita natural, kita beli USD jual USD. Masih aman. Mayoritas penjualan masih ekspor," tambahnya.