Simalakama Kilau Timah di Laut Bangka

27 Oktober 2018 11:00 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bom Waktu Timah Bangka
 (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bom Waktu Timah Bangka (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Perahu nelayan tradisional dengan mesin berkapasitas 15 PK mengantar kami ke tengah laut Pantai Matras di Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, Jumat (19/10).
ADVERTISEMENT
Diombang-ambing gelombang di bawah sinar matahari siang yang terik, perahu yang kami tumpangi perlahan menuju kapal besar yang berada tak sampai 2 mil dari bibir Pantai Matras.
Jangan bayangkan warna laut Bangka biru cerah atau hijau bening seperti yang kita lihat di pulau sekandungnya: Belitung. Di bibir Pantai Matras, air laut keruh dan kusam.
Kejutan dimulai saat kami mendekati Kapal Isap Produksi (KIP) tambang timah. Warna air laut berubah total, bukan menjadi hijau atau biru, tapi cokelat susu yang lebih mirip 'bajigur'.
Begitulah warna laut Bangka sekarang setelah penambangan timah di laut semakin masif seiring berkurangnya cadangan di darat. Kapal isap timah baik milik PT Timah (Persero) Tbk maupun milik swasta saban hari berjejer di tengah hilir mudik kapal kecil nelayan tradisional.
ADVERTISEMENT
"Dengan kondisi air laut seperti ini, apakah ada ikan yang mau datang ke sini dan bisa kami tangkap?" kata Sudirman, 38 tahun, salah seorang nelayan yang menemani tim kumparan menyusuri Pantai Matras.
Nelayan di Pantai Sampur, Pangkal Pinang, Bangka. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nelayan di Pantai Sampur, Pangkal Pinang, Bangka. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Sudirman mengenang dua puluh tahun lalu saat pertama kali melaut untuk meneruskan profesi ayahnya. Ikan masih mudah didapat tak jauh dari bibir pantai. Dalam jarak 1 mil, dia bisa membawa pulang hingga 10 kilogram ikan, bahkan cumi-cumi yang harganya cukup tinggi.
"Sekarang, tidak ada lagi ikan dalam jarak 1 mil. Paling dapat dua kilogram. Cukup untuk apa? Sekarang kami minimal harus melaut hingga sejauh 30 mil untuk mendapat ikan. Ransum dan bahan bakar pasti membengkak," ujarnya.
Keruhnya air laut tak hanya terjadi di Pantai Matras, tapi juga di Wilayah Jebus, Pantai Pemanak, Kabupaten Bangka Barat. Di sana, merupakan kawasan penambangan timah laut dengan konsesi yang dimiliki PT Timah Tbk.
ADVERTISEMENT
Yang lebih parah lagi pemandangan di pantai Sampur, Kecamatan Pangkalan Baru, Bangka Tengah. Pantai yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari kantor pusat pemerintah provinsi Bangka Belitung ini, lautnya sudah sangat tercemar.
Pantainya sangat keruh, berwarna cokelat pekat. Saat pandangan tertuju ke tengah laut, terlihat ratusan ponton Tambang Inkonvensional Apung menyemut, menyerupai pulau. Tak jelas mereka berizin atau tidak.
“Kami sangat dirugikan dengan tangkapan ikan kami yang berkurang dan kami harus melaut hingga lebih dari 10 mil. Pemerintah harus menertibkan tambang di laut ini,” kata Erwandra, salah seorang nelayan di sana.
Kapal isap pertambangan timah di Sungai Liat, Bangka. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kapal isap pertambangan timah di Sungai Liat, Bangka. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
kumparan diantar ke tengah laut untuk melihat dari dekat aktivitas TI Apung yang dikelola secara tradisional. Deru mesin hisap terdengar cukup keras. Para penambang ini berjejer di lokasi tambang laut yang hanya sekitar 2 mil dari bibir pantai.
ADVERTISEMENT
“Jalur kami dulu sempat tertutup oleh para penambang, kami usir mereka karena mengganggu aktivitas nelayan yang juga sama-sama cari makan,” katanya.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung, ada 54 Kapal Isap Produksi dan ada lebih dari 1.269 unit TI Apung yang beroperasi tersebar di hampir seluruh pesisir Kepulauan Bangka.
Dari temuan Walhi, aktivitas pertambangan di laut telah menimbulkan daya rusak yang kronis terhadap lingkungan dan ekosistem perairan laut kawasan pesisir.
"Ini juga berdampak pada hilangnya pencarian masyarakat nelayan tradisional. Wilayah tangkap nelayan semakin sempit dan punahnya beberapa jenis biota laut akibat rusaknya terumbu karang," kata PJS Direktur Walhi Bangka Belitung, Zulpriadi.
Kerusakan laut terjadi akibat banyaknya limbah lumpur bekas pengisapan. Setiap harinya, kata Zul, 1 unit KIP bisa menghasilkan limbah sedimentasi hingga 2.700 meter kubik.
ADVERTISEMENT
"Bisa dibayangkan jika ada sekitar 50 Kapal Isap Produksi setiap hari, setidaknya setiap tahun 49,5 juta sedimentasi berupa partikel buangan yang menutupi sebaran terumbu karang," katanya.
Zul meminta pemerintah pusat dan daerah menghentikan penambangan di pesisir pantai Bangka Belitung. Sebab, jika tidak hal tersebut akan menjadi simalakama karena bisa menimbulkan konflik antara nelayan dan penambang.
“Konflik sering terjadi, nelayan menolak keras aktivitas penambangan di laut. Bayangkan, ada 45 ribu nelayan di seluruh pesisir Bangka yang terdampak akibat aktivitas tambang ini,” ujarnya.
Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman, tak menampik laut Bangka sudah tercemar akibat aktivitas tambang. Namun dia berkilah izin penambangan di laut juga dikeluarkan pemerintah pusat kepada PT Timah Tbk, pemilik izin usaha pertambangan (IUP) terbanyak.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, tambang timah merupakan penghidupan masyarakat. Banyak yang bergantung pada timah karena lebih mudah mendapatkan uang. Sehingga, pemerintah harus bersikap hati-hati agar tidak berdampak pada ekonomi masyarakat.
“Contoh ada satu desa namanya Tempilang. Ekonominya bagus berkembang karena ada penambangan. Tiba-tiba terjadi pembunuhan di sana. Tambang ditutup, langsung turun ekonominya. Nah kita tidak mau itu terjadi. Tapi bukan terus melakukan penambangan,” katanya kepada kumparan.
Terkait persoalan nelayan yang terdampak akibat adanya penambangan di laut, Erzaldi mengatakan pemerintah Provinsi dan DPRD Bangka Belitung saat ini tengah menyusun Perda RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).
Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Beleid daerah ini mengatur soal zona perairan laut di Bangka Belitung. Ada zona tambang, ada pariwisata, ada zona penangkapan ikan dan sebagainya, termasuk kawasan laut untuk konservasi.
ADVERTISEMENT
“Perda Zonasi ini harus cepat. Ketika zonasi sudah ada, kita harus strike mengatur areal pertambangan di laut,” ujarnya.
Menurut Erzaladi, pemerintah Bangka Belitung sudah sadar bahwa tambang bukan jawaban. Pemerintah fokus mengembangkan sektor pariwisata, lada, dan UMKM yang lebih berkelanjutan untuk mendongkrak ekonomi.
“Bagi saya, mana yang lebih sustain. Tambang atau yang lainnya? Tentu yang lainnya. Kami akan mengambil kebijakan akan membatasi, khususnya untuk PT Timah,” ujarnya.
Untuk meminimalkan kerusakan lingkungan, PT Timah kini menyiapkan alat-alat dengan teknologi baru. Alat ini serupa dengan alat untuk pertambangan migas di lepas pantai, tidak lagi menggunakan kapal penyedot seperti saat ini.
Rencananya alat ini akan diuji coba di lepas pantai Bangka pada 2019, saat ini masih dilakukan studi. "Ibu Susi bilang sekarang belum bisa (menambang timah di lepas pantai Belitung Timur) karena menunggu alat ramah lingkungan. Alatnya untuk di laut masih studi, mungkin 2019 mulai uji coba," kata Corporate Secretary PT Timah Tbk, Amin Haris Sugiarto kepada kumparan.
ADVERTISEMENT