Stafsus Sri Mulyani Bantah JK soal RI Bayar Utang Rp 1.000 T per Tahun

4 Juni 2023 10:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
Salam corona Jusuf Kalla dan Sri Mulyani saat bertemu di Kantor Wapres, Jakarta. Foto: Dok. Jeri Wong
zoom-in-whitePerbesar
Salam corona Jusuf Kalla dan Sri Mulyani saat bertemu di Kantor Wapres, Jakarta. Foto: Dok. Jeri Wong
ADVERTISEMENT
Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, membantah pernyataan mantan wakil presiden RI Jusuf Kalla (JK), yang mengatakan pemerintah membayar utang mencapai Rp 1.000 triliun dalam satu tahun.
ADVERTISEMENT
“Kita tidak mengeluarkan Rp 1.000 T per tahun untuk membayar utang seperti yang disampaikan oleh Pak JK. Bu Sri Mulyani sudah merespons ini,” tulis Prastowo dalam cuitan tweet, dikutip Minggu (4/6).
Menurut Prastowo, pemerintah sangat berhati-hati dan terukur agar kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal tetap terjaga dalam pembayaran pokok dan bunga utang.
“Transparan tiada yang perlu ditutupi, sudah diaudit BPK,” katanya.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) BPK, pemerintah membayar utang Rp 902,37 triliun di 2021. Ini berupa cicilan pokok dalam negeri Rp 1,54 triliun, SBN Rp 475,26 triliun, cicilan pokok luar negeri Rp 82,08 triliun, bunga Rp 343,49 triliun. Total pembayaran utang selama 2021 meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Data pembayaran utang pemerintah. Foto: LKPP BPK.
Prastowo mengatakan, rasio utang pemerintah terhadap PDB per April 2023 turun menjadi 39,17 persen dari 39,57 persen pada Desember 2022. Kebijakan penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi membuat rasio utang meningkat, yaitu 39,4 persen terhadap PDB di 2020 dan naik menjadi 40,7 persen terhadap PDB pada 2021.
ADVERTISEMENT
“Kemampuan recovery yang baik membuat ekonomi Indonesia mampu bangkit, sekaligus menurunkan debt ratio. Pada 2021 rasio utang Indonesia (40,7 persen) jauh di bawah rerata emerging market. China bahkan menyentuh 71,5 persen.,” imbuh Prastowo.
Komisaris PT Semen Indonesia (Persero) Tbk itu juga menegaskan pemerintah patuh pada aturan fiskal. Sebagai konsekuensi, kenaikan PDB Indonesia lebih besar daripada utang seiring mayoritas negara ASEAN dan G20 mengalami kenaikan utang yang lebih tinggi daripada PDB.
“Efek pengganda yang besar. Kurun 2018-2022, saat dunia krisis karena pandemi, utang pemerintah mampu menghasilkan multiplier effect bagi perekonomian sebesar 1,34,” tuturnya.
Fakta berikutnya, lanjut Prastowo, sebagian besar utang Indonesia dalam mata uang rupiah. 73 persen utang Indonesia berasal dari SBN domestik, hal ini untuk menekan risiko pasar dari melambungnya nilai utang karena pelemahan rupiah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dia menekankan risiko utang Indonesia menurun tajam. Hal ini ditandai dengan debt service ratio/DSR dari 2020 sebesar 47,3 persen menjadi 34,4 persen pada tahun 2022 dan menurun lagi per April 2023 menjadi 28,4 persen.
Interest ratio (rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan) juga menurun, dari 19,3 persen pada 2020 menjadi 14,7 persen pada 2022 dan 13,95 persen per April 2023,” ungkap Prastowo.
Prastowo melanjutkan, penurunan DSR dan IR menunjukkan bahwa kemampuan APBN dalam membayar biaya utang (pokok dan bunga) semakin menguat.
“Rating kita bagus, Indonesia masih dipandang reliable dalam pengelolaan utang. Lembaga-lembaga pemeringkat kredit seperti Standard & Poor's, Moody’s, dan Fitch memberi rating BBB/Baa2 untuk Indonesia dengan outlook stabil, di saat banyak negara mengalami downgrade,” jelasnya.
ADVERTISEMENT