Stigma Sunset Industri Tekstil Bikin Pengusaha Sulit Akses Pembiayaan

9 Juli 2024 16:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kris Sasono Ngudi Wibowo di Kantor Kemenperin, Jakarta, Kamis (27/6/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kris Sasono Ngudi Wibowo di Kantor Kemenperin, Jakarta, Kamis (27/6/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membeberkan sederet permasalahan yang tengah dihadapi oleh industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Sektor ini tengah menjadi sorotan lantaran banyaknya tenaga kerja yang dipangkas di industri ini.
ADVERTISEMENT
Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Reny Yanita menuturkan salah satu permasalahan yang dihadapi industri TPT adalah adanya stigma sunsetnya industri ini membuat pelaku usaha sulit mendapatkan pembiayaan.
Sementara, menurut dia, pelaku usaha membutuhkan pembiayaan ini untuk memperbaharui alat produksi yang rata-rata berusia lebih dari 20 tahun. Kesulitan mengakses pembiayaan ini kemudian berdampak pada efisiensi produksi industri TPT di Tanah Air.
“Ada stigma sunset industri yang menyulitkan industri TPT dalam mengakses sumber pembiayaan. Padahal presentasi permesinan industri TPT saat ini rata-rata di atas 20 tahun jadi secara produksi mungkin efisiensinya patut dipertanyakan,” kata Reny di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (9/7).
Meskipun, Reny tetap menyoroti goyangnya pertahanan pabrik-pabrik di industri ini utamanya disebabkan oleh aturan impor yang tidak dapat membendung banjirnya produk dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
Reny memandang importasi pakaian jadi masih membutuhkan persyaratan impor berupa Pertimbangan Teknis (Pertek).
Kondisi pabrik tekstil di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Foto: Kementerian Koperasi dan UKM
Sebab, menurut dia Persetujuan Impor (PI) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan sebagai syarat impor selain Laporan Surveyor tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang sebelumnya dipertimbangkan dalam Pertek.
“Jadi Persetujuan Impor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan tidak mempertimbangkan faktor harga dan supply demandnya,” tambah Reny.
Adapun penghapusan Pertek sebagai syarat impor beberapa komoditas termasuk pakaian jadi diteken pemerintah dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 dari aturan sebelumnya, Permendag 36/2023.
Aturan impor baru ini, menurut Reny juga berdampak pada penurunan utilitas Industri Kecil Menengah (IKM) sektor tekstil. Akibatnya, sektor hulu tekstil turut goyah.
“Kemudian penurunan utilisasi industri konveksi dan alas kaki IKM sebesar rata-rata 70 persen, semenjak pemberlakuannya Permendag 8 tahun 2024 ini,” tutur Reny.
ADVERTISEMENT
Hal ini bersamaan dengan penerapan restriksi perdagangan di sejumlah negara. Sehingga Indonesia dengan aturan impor yang dianggap lebih longgar menjadi negara tujuan baru produk-produk tersebut.
Terlebih menurut dia, selain masuk melalui jalur legal, Reny juga memandang produk impor ilegal turut berkontribusi dalam rontoknya pekerja industri tekstil. “Kita tahu juga yang belum selesai sampai hari ini yaitu terkait dengan impor ilegal dan impor pakaian bekas atau thrifting,” imbuh Reny.
Di sisi ekspor, industri ini juga tertekan oleh permasalahan geopolitik dan ekonomi dunia yang menyebabkan pasar ekspor sektor ini terbatas, sejak 2022 hingga kini. Terakhir, permasalahan perjanjian perdagangan yang diharapkan akan segera diselesaikan.
“Permasalahan berikutnya yaitu kerja sama perdagangan IEU-CEPA (Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) kita yang belum di tanda tangannya jadi harapannya ketika IEU-CEPA ini ditandatangani untuk produk ppt kita mendapatkan preferensi tarif untuk masuk ke negara IEU-CEPA ini,” tutup Reny.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Kemenperin mencatat sebanyak 11.000 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) imbas terdampak dari regulasi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024.
Kemenperin mencatat pasca terbitnya Permendag 8/2024 pada 17 Mei 2024 menyebabkan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) kembali naik pada bulan Mei 2024, menjadi 194,87 ribu ton dari semula 136,36 ribu ton pada April 2024.
"Perkembangan isu PHK di industri TPT dapat kami sampaikan, ini pasca terbitnya Permendag 8 tahun 2024 ada utilisasi IKM (industri kecil menengah) yang turun rata-rata hampir 70 persen," kata Reny saat diskusi di kantornya, Senin (8/7).
Sementara, berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) ada sebanyak 13.800 tenaga kerja industri TPT yang terPHK sepanjang Januari hingga Juni 2024.
ADVERTISEMENT