Sudah Punya Sendiri, Kenapa BRI Masih Perlu Satelit Baru?

23 Agustus 2019 11:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peluncuran satelit milik Bank BRI, BRISat, pada 2016. Foto: Dok. Bank BRI
zoom-in-whitePerbesar
Peluncuran satelit milik Bank BRI, BRISat, pada 2016. Foto: Dok. Bank BRI
ADVERTISEMENT
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI membutuhkan kapasitas satelit baru, untuk memenuhi kebutuhan pengembangan bisnisnya yang makin mengarah ke digital.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan satelit pertama yang dimiliki dan dikelola sendiri oleh BRI, untuk yang berikutnya sudah diputuskan untuk dikerjasamakan dengan PT Satkomindo Mediyasa (Satkomindo). Perusahaan yang berdiri sejak 1991 ini, punya pengalaman panjang mengelola satelit dan merupakan operator VSAT (Very Small Aperture Terminal) sejak 2009.
Adanya kebutuhan satelit baru dari Bank BRI, mengundang pertanyaan apakah satelit yang dimilikinya sendiri sudah tak bisa lagi memenuhi kebutuhan itu?
Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank BRI, Indra Utoyo, memberikan penjelasan kepada sejumlah media, Kamis (22/8). Dalam kesempatan itu, hadir pula Direktur Utama Satkomindo, Abing Rabani.
Sebelumnya, kumparan melakukan wawancara khusus dengan Kepala Divisi Satelit dan Terestrial Bank BRI, Meiditomo Sutyarjoko, di Kantor Pusat BRI pada Selasa (20/8). Berikut perbincangan selengkapnya:
ADVERTISEMENT
Di dunia ini kabarnya hanya BRI, bank yang punya satelit sendiri. Kenapa?
Indra Utoyo:
Jadi begini sebetulnya masalahnya very simple. Bahwa BRI sudah punya satelit, karena sesuai strategi bisnis.
Strategi bisnisnya BRI kan mikro. Mikro itu artinya kan di daerah terpencil dong? Problemnya adalah infrastruktur kurang bagus. Nah sepanjang itu masih ada listrik, itu ada aktivitas di sana. Bahkan yang tidak ada listrik pun, ternyata ada aktivitas finansial.
Karena BRI memiliki misi financial inclusion untuk menjangkau sekitar 52 juta orang di Indonesia yang masih belum memiliki bank account, maka BRI kan harus me-reach ke sana. Ke daerah terdepan, terluar, tertinggal. Itu kan kalau 3T.
Nah di sana itu, problemnya infrastruktur enggak ada. Terutama untuk seluler. Karena seluler enggak ada, maka kita harus cari cara sendiri. Apa itu? Ya satelit.
Direktur Teknologi Informasi & Operasi BRI Indra Utoyo (kiri) bersama Dirut Satkomindo Abing Rabani. Foto: Wendiyanto/kumparan
Lalu kenapa harus punya sendiri?
ADVERTISEMENT
Indra Utoyo:

Untuk menjangkau daerah 3T ternyata satelit itu, pada saat kita meminta kepada operator, tidak selalu siap. Karena di Indonesia itu, transponder itu shortage. Kebutuhannya segini (banyak, memeragakan dengan tangan), sementara yang tersedia segini (sedikit, memeragakan dengan tangan).
Jadi susah nyarinya dan kalau nunggu lama. Kita kan maunya kalau minggu depan ke sana, langsung deploy. Jadi enggak bisa nih mengeksekusi strategi korporasi dan bisnisnya BRI. enggak nyambung. Makanya di situlah muncul kebutuhan untuk punya satelit sendiri.
Jadi keberadaan satelit BRI ini justru mengurangi shortage kebutuhan itu.
Apakah BRISat yang dimiliki BRI sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan, sehingga harus ada satelit baru?
Meiditomo Sutyarjoko:
Dengan adanya satelit sendiri, kita sudah berhasil meng-cover lebih dari 17.750 titik di seluruh Indonesia. Dari mengelola kebutuhan itu, ternyata kita belajar, yang kita pikirkan dulu cukup satu satelit, ternyata sudah penuh pada tahun ketiga.
ADVERTISEMENT
Jadi kebutuhan bandwith BRI itu underestimated tuh. Dikiranya segini (sedikit) ternyata segininya (banyak).
Terus bagaimana memetakan kebutuhannya ke depan?
Meiditomo Sutyarjoko:
Oleh manajemen kita diminta mempelajari kebutuhan untuk 10 tahun ke depan. Kita melakukan workshop ke seluruh elemen dari strategi, unit bisnis dan functional team.
Kesimpulannya, walaupun jumlah unit kerja nanti akan menurun menjadi mobile, ke digital itu, sesuai dengan rencana transformasi. Tapi kebutuhan bandwith-nya ternyata naik. Jadi walaupun jumlah unit kerja turun, tapi bandwith-nya naik.
Karena utilisasi dari aplikasi, itu eksponensial. Itu sekarang pun sudah ketahuan nih. Dari e-channel naik eksponensial. BRImo atau aplikasi-aplikasi yang lain itu (kenaikan penggunaannya) juga eksponensial.
Kalau penggunanya terus bertambah, yang akan terjadi adalah BRI pasti akan butuh jaringan komunikasi yang lebih luas.
Peluncuran Aplikasi BRImo di Gedung BRI Innovation Center BRI, Jakarta Selatan. Foto: Abdul Latif/kumparan
Apakah artinya dulu salah hitung kebutuhan?
ADVERTISEMENT
Meiditomo Sutyarjoko:
Ini analoginya kayak orang mendapatkan air di padang pasir. Kan tadi ada gap antara supply dan demand. Jadi transponder itu kayak air di padang pasir. Susah dicari.
Dikasih air 1 liter, langsung habis. Dikasih 2 liter, ternyata habis juga. Dikasih 3 liter, sama juga.
Kita itu dalam pembuatan proyeksi, saat itu in our mind dipikir “Ini aja cukup”. Misal 128 Kbps cukup. Eh ternyata di pake WA aja nge-lack terus. Enggak kira pada saat itu ada kebutuhan lebih. Ini yang pertama.
Yang kedua, pada saat membuat proyeksi kebutuhan ada pre-conceived kayak di-rem sendiri. Jadi terlalu konservatif perhitungannya. Yang ketiga, ada efek digital. Aplikasi BRI itu ternyata banyak sekali, lebih banyak dari bank lain. Dan nambah terus.
ADVERTISEMENT
Selain itu, orang yang mulai masuk ke digital itu pengennya kasih user experienced bagus. Jadi enggak mau lagi yang model simpel-simpel. Kalau ada gambar, maunya transfer. Gampang dibuka. Itu enggak diperhatikan pada saat perhitungan. Ini karena digital effect.
Kalaupun dibilang salah hitung? it’s a good problem to have. Itu lebih bagus daripada punya kapasitas tapi kosong enggak dipakai. Jadi harus ditambah.
Kepala Divisi Satelit & Terestrial BRI Meiditomo Sutyarjoko (kiri) bersama Direktur Teknologi Informasi & Operasi BRI Indra Utoyo. Foto: Wendiyanto/kumparan
Kenapa untuk satelit yang kedua dikerjasamakan dengan Satkomindo?
Indra Utoyo:
BRI itu kan bisnisnya bank ya, itu aturannya sangat rigid. Fully regulated. Jadi kita ingin fokus saja ke bisnis perbankan.
Jadi ultimate-nya nanti pengoperasian satelit, itu tidak di BRI lagi. Dulu waktu satelit yang pertama, BRISat, karena masalah urgensi waktu saja. Kalau enggak cepat-cepat diambil, slot orbit satelit yang tersedia bisa dipakai negara lain. Maka BRI (cepat-cepat) yang luncurkan satelit.
ADVERTISEMENT
Nanti ke depan akan dilakukan penataan yang jangka panjangnya, kita tentukan. Pengoperasiannya nanti di Satkomindo. Bukan mengalihkan asetnya ya, tapi mengoperasikannya.
Model kerja sama BRI dengan Satkomindo itu seperti apa dalam bisnis satelit ini?
Indra Utoyo:
Seperti tadi saya bilang, secara waktu kan ini kondisinya tidak ada kondisi urgensi seperti waktu 2016 (Saat peluncuran BRISat). Jadi kalau sekarang BRI butuh satelit, ya itu akan dicarikan sama Satkomindo. Caranya seperti apa? Apakah menyewa atau punya sendiri? Dapatnya darimana? itu Satkomindo yang urus. Tapi memang proyeksinya di 2023, Satkomindo akan punya satelit sendiri. Jadi yang punya Satkomindo. Bukan BRI.
Peluncuran satelit milik Bank BRI, BRISat, pada 2016. Foto: Dok. Bank BRI
Satkomindo ini hubungannya dengan BRI bagaimana?
Abing Rabani:
Secara legal, Bank BRI dengan Satkomindo ini dua entitas yang terpisah dan berbeda. Enggak ada hubungan. Jadi bukan subsidiary juga. Bukan anak perusahaan. BRI itu hanya sebagai pendiri Satkomindo. Yakni melalui YKP, Yayasan Kesejahteraan Pegawai. Jadi shareholder-nya Satkomindo itu mereka (YKP).
ADVERTISEMENT
Apa persiapan yang sudah dilakukan Satkomindo untuk memenuhi kebutuhan satelit BRI?
Abing Rabani:
Satkomindo sejak 2009 telah berbisnis sebagai operator VSAT (Very Small Aperture Terminal ). Itu remote ground atau parabola yang nangkap sinyal dari satelit itu. Kita mengelola 5.610 titik punya BRI.
Kita juga sudah punya lisensi Penyelenggara Jaringan Tetap Tertutup (JARTUP). Tahun 2019 ini, juga telah mendapatkan persetujuan Kementerian Kominfo sebagai pengelola slot orbit satelit geostasioner di Indonesia. Ini sudah terdaftar di badan International Telecommunication Union (ITU).
Kami tuh sudah mengundang, sudah bicara dengan 18 operator satelit. Juga ada 8 satelite manufaturing. Dan mereka tertarik. Karena dia melihat captive market juga.