Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Industri kelapa sawit Indonesia tengah dirundung masalah besar. Salah satu pasar utama mereka yaitu Uni Eropa memilih untuk menghentikan penggunaan produk kelapa sawit sebagai bahan bakar secara bertahap dimulai tahun 2024 hingga berhenti total di 2030 mendatang.
ADVERTISEMENT
Komisi Uni Eropa memang telah mengesahkan aksi delegasi (Delegated Act) yang salah satu isinya mengkategorisasikan CPO sebagai produk tidak berkelanjutan. Akibatnya, penggunaan CPO untuk bahan bakar kendaraan bermotor harus dihapus.
Ini sebuah masalah besar sebab Uni Eropa merupakan pasar yang kompetitif bagi CPO Indonesia. Berdasarkan data Gabungan Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sepanjang tahun 2018 lalu, ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa mencapai 4,78 juta ton. Sedangkan total ekspor CPO Indonesia ke berbagai negara mencapai 34 juta ton. Sementara produksi kelapa sawit Indonesia rata-rata setiap tahun sekitar 50 juta ton.
Indonesia yang merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia harus putar otak. Ada sejumlah pasar baru yang cukup potensial bagi Indonesia. Afrika adalah pilihannya. Namun menjual produk kelapa sawit di Afrika susah-susah gampang. Apa sebabnya?
ADVERTISEMENT
"Tantangannya tidak ada infrastruktur di sana seperti tangki. Jadi kita harus bangun," ungkap Direktur Suistanability and Stakeholder Relation Asian Agri, Bernard Riedo, saat berdiskusi dengan media di The Restaurant Lara Djonggrang, Menteng, Jakarta, Selasa malam (28/5).
Tidak hanya soal ketiadaan infrastruktur, mengirim kelapa sawit ke Afrika dari Indonesia juga mahal. Ini menyangkut ongkos handling di pelabuhan yang mencakup port clearance.
"Kita kirim ke Afrika lebih mahal dibandingkan Malaysia yang kirim ke sana," ucapnya.
Meski sulit, namun Bernard bilang pasar Afrika cukup besar. Sayang kalau dilupakan atau tidak dimaksimalkan Indonesia.
"Afrika itu cukup potensial dan kita tidak boleh tinggalkan," sebutnya.
Sementara itu Direktur Corporate Affairs Asian Agri, Fadhil Hasan, yang sempat menghadiri The 6th Africa Oil Palm & Rubber Summit di Pantai Gading mengungkapkan berinvestasi kelapa sawit di Afrika juga terbilang sulit. Misalnya tidak ada sinergi antara perkebunan rakyat dengan perusahaan hingga sulitnya mencari tenaga kerja. Fadhil mengatakan tenaga kerja sektor kelapa sawit di Afrika justru banyak dari Indonesia. Mereka di sana bekerja untuk perusahaan sawit asal Singapura.
ADVERTISEMENT
"Jumlahnya hampir 2.000-3.000. Ini yang menghambat investasi sawit di sana," timpalnya.