Tantangan buat Pedagang Online di Awal 2019: Pajak dan Kenaikan Ongkir

17 Januari 2019 7:56 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Ilustrasi Belanja Online (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi Belanja Online (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Pelaku usaha di dunia maya mesti menghadapi setidaknya dua tantangan pada awal tahun ini, yaitu aturan tata cara dan mekanisme pemajakan pada transaksi online (e-commerce) dan adanya kenaikan tarif ongkos kirim (ongkir).
ADVERTISEMENT
Pada Jumat (11/1), pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 mengenai Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Beleid ini berlaku efektif mulai 1 April 2019.
Dalam aturan tersebut, penyedia platform marketplace seperti Lazada, Tokopedia, BukaLapak, Shopee, dan sebagainya wajib untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) terkait penjualan barang dagangan milik pedagang di marketplace itu sendiri. Selain itu, penyedia platform marketplace juga wajib melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform.
Namun, aturan yang mewajibkan pedagang di platform marketplace untuk menyerahkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kini diperlunak oleh pemerintah. Pedagang atau merchant tak lagi wajib menyerahkan NPWP ataupun NIK ke penyedia platform marketplace.
ADVERTISEMENT
Selesai dengan persoalan pemajakan, kini merchant harus kembali menghadapi mahalnya biaya ongkos kirim alias ongkir. Sejak Selasa (15/1), perusahaan jasa pengiriman PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) resmi menaikkan tarif ongkir. 270 perusahaan jasa kurir yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) pun melakukan langkah serupa bulan ini.
Penyesuaian tarif tersebut berlaku untuk pengiriman paket dari Jabodetabek ke seluruh tujuan dalam negeri. Sementara untuk pengiriman paket dalam kota atau antarkota dalam Jabodetabek tetap berlaku tarif normal.
Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menuturkan, kenaikan ongkir tidak akan berpengaruh besar terhadap minat belanja orang di toko online. Sebab, konsumen mempunyai pilihan jasa pengiriman mana yang dipilih.
ADVERTISEMENT
"Pada dasarnya terserah kepada konsumen karena konsumen pun bisa memilih mana yang dia mau pakai, mana yang enggak. Dan salah satu pertimbangannya sudah pasti harga," kata dia kepada kumparan, Kamis (17/1).
com-Armada Pengiriman JNE (Foto: JNE)
zoom-in-whitePerbesar
com-Armada Pengiriman JNE (Foto: JNE)
Menurutnya, saat ini sudah banyak perusahaan jasa pengiriman barang. Sehingga pedagang maupun pembeli bisa memilih mana yang sesuai dengan kemampuannya.
"Buat orang-orang, buat pembeli juga, kalau misalnya enggak mau pakai JNE kan masih banyak pilihan yang lain. Tinggal disesuaikan saja," katanya.
Untung menyatakan, naiknya ongkir tidak akan mengganggu harga barang yang dijual. Sebab, pengenaan tarif ketika belanja online berada di akhir pembelian barang.
"Enggak, enggak ada dampak sama sekali. Itu kan di luar harga barang, karena kirim itu munculnya belakangan," jelas Untung.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, salah satu pelaku usaha di media sosial dan marketplace, Disfiyant Glienmourinsie mengatakan, dirinya harus memberikan penjelasan lebih kepada para pembeli, khususnya yang di luar Jabodetabek, bahwa ada kenaikan ongkir.
"Untuk dampak, sejauh ini belum ada, tapi pasti bakalan ada. Pastinya, aku bakalan ngasih pengertian ke konsumen yang dari luar kota perihal kenaikan ini. Jadi, meskipun ada kenaikan tarif, tidak akan mengubah harga dan volume produk kami," kata wanita yang akrab disapa Glien.
Glien yang merupakan pemilik usaha Dapur Makaro (@dapurmakaro) mengaku, kenaikan tarif ongkir tak akan mengurangi kualitas dan cita rasa beragam jenis sambal yang ia jual.
"Untuk kualitas, volume, dan harga menu di Dapur Makaro, Insyaallah enggak akan ada kenaikan terkait perubahan tarif jasa kurir," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Bagi Glien yang baru merintis usaha, adanya isu kenaikan ongkir dan pemajakan e-commerce sebenarnya cukup meresahkan. Namun selama hal itu tak mengganggu permintaan konsumen, dia pun tak mempermasalahkan.
Megenai tata cara pemajakan e-commerce, dia berpesan agar aturan yang dibuat pemerintah tersebut tak memberatkan pelaku usaha digital. "Jangan sampai memberatkan si pelaku usaha. Persentasenya mesti dihitung bener supaya enggak menimbulkan gesekan antar pemerintah dan pelaku usaha." kata Glien.
e-commerce (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
e-commerce (Foto: Pixabay)
Namun bagi pemilik usaha pakaian jadi Wakaba (@wakaba.id), Laurensius Marshall menuturkan, kenaikan ongkir cukup memberatkan. Apalagi, bisnis yang dia jalani ini juga banyak permintaan dari luar Jabodetabek.
"Buat yang di Jabodetabek, praktis enggak ada ngaruhnya, masih murah. Nah orderan di luar itu baru yang pusing," kata Marshall.
ADVERTISEMENT
Bahkan dia sempat mengantarkan sendiri pesanan baju dari Jakarta ke Bandung lantaran ongkir yang mahal. Saat itu, dia mengirim barang sebanyak 1.000 pcs pakaian atau sekitar 120 kg.
"Bisa Rp 1,5 jutaan kalau pakai JNE, kalau pakai truk Rp 800.000. Kalau naik mobil pulang-pergi paling Rp 350.000, bensin Rp 200.000, sisanya tol," tuturnya.
Mengenai aturan pajak e-commerce, Marshall pun mengaku tak masalah selama yang mengurus itu adalah pihak platform marketplace.
"Enggak apa-apa, yang penting via e-commercenya aja. Jadi merchant enggak ngurus-ngurus lagi," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun pun merasa kenaikan ongkir pada JNE dapat memberatkan UMKM yang baru memulai usahanya secara online. Adapun saat ini baru 6 juta pelaku UMKM yang berjualan secara online dari total 56 juta pelaku UMKM.
ADVERTISEMENT
"Kalau baru mulai online saja sudah naik ini itu ya memberatkan juga buat UMKM," jelasnya.
Terkait aturan tata cara pemajakan online, Ikhsan pun meminta pemerintah memberikan perlakuan khusus bagi produk UMKM yang dijual secara online pada platform marketplace.
"Kan selama ini enggak dibedain, mana yang produk UMKM dan mana yang bukan. Harapannya ke depan pemerintah bisa bedakan sehingga ada perlakuan atau kebijakan khusus yang akan dibuat untuk UMKM yang online ini," tambahnya.