Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi mewanti-wanti soal keputusannya menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen mulai 1 Januari 2020, yang bisa memicu aksi protes besar-besaran. Iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja meningkat sesuai usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengatasi defisit.
ADVERTISEMENT
Jokowi khawatir bila penjelasan tidak tepat ke rakyat, maka akan timbul demonstrasi besar-besaran seperti yang terjadi di Chile sejak 18 Oktober 2019.
Keduanya memiliki kesamaan, yakni soal kenaikan tarif atau iuran layanan publik. Otoritas Chile menaikkan tarif angkutan kereta (Metro) hanya sebesar 3,7 persen. Sedangkan Indonesia menaikkan tarif jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan ) hingga 100 persen. Kenaikan tersebut dianggap membebani masyarakat kelas menengah bawah.
"Itu (kasus Chile) dipicu oleh isu kecil mengenai kenaikan tarif transportasi, kemudian menimbulkan gejolak yang berkepanjangan dan diikuti perombakan besar-besaran di kabinet. Tetap itu pun tidak meredam gelombang demonstrasi besar besaran yang berujung pada anarkis," kata Jokowi dalam rapat terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10).
Bila ditarik ke isu Chile, kericuhan negeri paling stabil di Amerika Latin dipicu soal naiknya tarif angkutan kereta metro yang dipandang membebani pengeluaran mereka. Layanan metro di Kota Santiago serupa dengan layanan KRL Jabodetabek atau MRT Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 2,7 juta warga Santiago, ibu kota Chile menggunakan angkutan metro yang memiliki 6 jalur dan 136 stasiun. Akibat adanya kenaikan tarif, warga pun marah. Warga kemudian melakukan perusakan stasiun hingga berujung aksi demo anarkis di jalan. Kemudian 1 juta warga, dari berbagai usia dan profesi, turun ke jalan.
Ditulis BBC, Kamis (1/11), tuntutan warga Chile melebar. Mereka menuntut pemerintah memangkas angka ketimpangan (gini ratio) dan menaikkan pendapatan.
The Economist menyebut masyarakat juga menilai pemerintahan Presiden Sebastián Piñera dinilai tak mampu menggairahkan perekonomian yang dinilai stagnan selama beberapa tahun. Kondisi diperparah oleh korupsi di kalangan elit politik.
Tak hanya itu, pemerintah Chile juga dianggap tak adil dalam memungut pajak, khususnya bagi warga berpenghasilan menengah atas. Di saat bersamaan, warga kelas menengah bawah harus menanggung tingginya biaya hidup seperti jaminan kesehatan dan pendidikan.
ADVERTISEMENT
"Gaji pensiunan rendah, minimnya akses ke rumah layak huni, layanan kesehatan dan obat, kemudian perangkap kemiskinan," tulis The Economist.
Merespons aksi masa, Presiden Sebastián Piñera kemudian membuat langkah dengan menaikkan gaji pokok pensiunan 20 persen, menaikkan upah minimum dari USD 413 ke USD 482, dan menaikkan pajak untuk masyarakat berpenghasilan tinggi.
Pajak itu selanjutnya dipakai untuk mengkompensasi kenaikan biaya jaminan kesehatan dan pembatalan kenaikan tarif listrik. Pada akhir bulan, Presiden Chile memberhentikan 8 menteri, termasuk Menteri Dalam negeri dan Menteri Keuangan.
"Ini adalah hari-hari sulit, Chile berubah dan pemerintah harus mengikuti tantangan baru ini," kata Sebastián Piñera ditulis BBC saat pengumuman pergantian kabinet pada 28 Oktober 2019.
Namun aksi masa sudah terlanjur membesar. Langkah Presiden Chile tak mampu meredam aksi rusuh. Tercatat 20 orang meninggal dunia sejak demo 18 Oktober, kemudian Reuters mencatat aparat keamanan menahan 7.000 orang demonstran. Sisi ekonomi, kerusakan jaringan metro memicu kerugian hingga USD 400 juta dan aktivitas bisnis rugi USD 1,4 miliar.
ADVERTISEMENT
Karena demo tak kunjung tuntas, Presiden Chile kemudian membatalkan acara KTT APEC yang rencananya berlangsung 16-17 November dan pertemuan lingkungan COP 25 pada Desember 2019. Padahal di KTT APEC ini, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping direncanakan bertemu untuk membahas penyelesaian perang dagang.